CERITA
RAKYAT/LEGENDA “MALIN KUNDANG” YANG DIADAPTASI UNTUK BAHAN PEMBELAJARAN SASTRA
DI SMP/SMA
Oleh
Fitra Youpika
A. Pendahuluan
Sastra
dan bahasa merupakan dua hal yang sangat penting. Kedua memiliki hubungan yang
sangat erat. Dengan kata lain, bahwa sastra tidak bisa lepas dengan bahasa.
Bahasa memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan
emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan siswa dalam mempelajari
semua bidang studi.
Berkaitan
dengan pembelajaran sastra, Sumardi dalam makalahnya mengatakan sastra
Indonesia merupakan salah satu warisan kebudayaan bangsa Indonesia. Sebagai
ahli waris, siswa harus mengenal, memahami, dan menghargai sastra miliknya.
Namun, harapan akan tinggal harapan apabila pembelajaran di sekolah kurang
berupaya untuk secara sadar dan sengaja memperkenalkan dan mendekatkan siswa
pada karya-karya sastra.
Seperti
yang kita ketahui bahwa pembelajaran sastra di sebagian sekolah belum
berlangsung seperti yang diharapkan. Guru cenderung menggunakan teknik
pembelajaran yang bercorak teoretis dan hafalan sehingga kegiatan pembelajaran
berlangsung kaku, monoton, dan membosankan. Dengan kata lain, guru kurang
kreatif baik dari cara penyampaian materi ataupun dalam pemilihan karya sastra
yang tepat untuk diajarkan pada jenjangnya.
Pembelajaran
sastra sangat penting dan bermakna apabila disampaikan dengan tepat dan
menarik. Prof. Suwarsih Madya (dalam, http://ganeca.blogspirit.com)
pernah menyampaikan pandangannya terkait dengan hal ini. Beliau mengatakan bahwa
"Pengajaran sastra dapat memberikan andil yang signifikan terhadap
keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan, asalkan dilaksanakan dengan
pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah
hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga". Sehingga, pembelajaran sastra
akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk itu, diharapkan seorang guru
harus kreatif dalam memilih karya sastra untuk diajarkan kepada siswanya.
B. Pembahasan
Sebelunya,
yang sangat perlu dipertimbangkan dalam memilih karya sastra yang sesuai untuk
pembelajaran. Hal-hal yang perlu pertimbangkan dalam tersebut menurut Rahmanto
(1988:27) pertama adalah bahasa, kedua dilihat dari kematangan jiwa (psikologi)
siswa, dan yang ketiga adalah latar belakang kebudayaan para siswa.
a. Bahasa
Dalam
usaha memilih karya sastra yang sesuai untuk pembelajaran, guru hendakanya
memertimbangkan dari segi bahasanya, baik dari segi kosa kata, tata bahasa, dan
wacananya. Selain itu, termasuk juga ungkapan dan referensi yang ada.
b. Psikologi
Siswa
Tahap
psikologi siswa dalam hal ini juga harus pertimbangkan. Dalam memilih bahan
pembelajaran sastra, tahap perkembangan psikologi ini sangat berpengaruh
terhadap minat dan keengganan siswa dalam banyak hal. Ada empat tahapan dalam
psikologi ini yaitu; (1) tahap pengkhayal
(8 s.d. 9 tahun), (2) tahap romantik
(10 s.d. 12 tahun), (3) tahap realistik
(13 s.d. 16 tahun), dan tahap generalisasi
(16 s.d. selanjutnya.
c. Latar
Belakang Budaya
Dalam
hal latar belakang budaya, biasanya siswa akan lebih tertarik pada karya sastra
dengan latar belakang yang masih erat hubungannya dengan latar belakang
kehidupan mereka. Dengan demikian, guru hendaknya memilih bahan pembelajaran
yang mengutamkan karya-karya sastra yang latar ceritanya dikenal oleh siswanya.
Guru hendaknya menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut
gambaran di luar jangkauan kemampuan pembayangan yang dimiliki oleh siswa.
1. Analisis Cerita Malin Kundang yang
Sudah Diadaptasi
Seperti
yang sudah disinggung dalam pendahuluan di atas bahwasanya pemilihan karya
sastra sangat penting sebelum proses pembelajaran dilakukan. Rahmanto (1988:5)
mengatakan bahwa bahan pengajaran yang diajarkan kepada siswa haruslah sesuai
dengan kemampuan siswanya pada suatu tahapan tertentu. Selain itu, karya sastra
yang akan disajikan hendaknya juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kesukrannya dan kriteri-kriteria tertentu lainnya.
Berdasarkan
jenjang remaja yaitu SMP/SMA karya satra yang berupa cerita-cerita sangat
sesuai untuk mereka. Salah satu karya sastra tersebut yaitu karya sastra yang
berupa cerita rakyat. Setiap cerita rakyat mengandung nilai-nilai moral yang
sangat kental. Cerita rakyat tersebut baik yang cerita aslinya ataupun yang
sudah mengalami adaptasi.
Salah
satu cerita rakyat yang sesuai untuk jenjang SMP/SMA adalah cerita Malin
Kundang. Cerita Malin Kundang
yang aslinya adalah cerita yang berasal dari provinsi Sumatera
Barat yang berkisah tentang seorang
anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu. Namun,
cerita Malin Kundang dalam hal ini adalah cerita yang sudah mengalami perubahan
(adaptasi). Proses adaptasi yang dilakukan tentunya disesuaikan dengan keadaan
sekarang ini yaitu, banyak seorang ibu yang durhaka terhadap anaknya. Banyak
seorang ibu yang durhaka, menelantarkan
dan bahkan membuang anak kandungnya. Hal itu dilakukan atas berbagai
alasan.
Dalam
cerita Malin Kundang asli, yang jahat atau yang durhaka adalah Malin Kundang.
Sedangkan dalam cerita Malin Kundang hasil adaptasi atau perubahan, penulis
membuat cerita Malan Kundang sedikit berbeda dengan yang aslinya. Diceritakan
dalam hal ini yang jahat dan durhaka adalah Ibunya Si Malin Kundang. Ibunya
membuang Malin Kundang yang masih kecil dan belum tahu apa-apa.
Malin
kundang yang tidak berdosa dibuang oleh ibunya dengan alasan tekanan ekonomi
dan rasa malu. Namun, setelah Malin
Kundang dewasa dan sudah menjadi oarang yang sukses, Ibunya mengakui dan mau
hidup bersama Malin Kundang. Akan tetapi, karena ketika dibuang Malin Kundang masih
sangat kecil yang ia belum sama sekali mengenali Ibunya. Malin Kundang tidak
mengetahui bahwa orang tua itu adalah ibu kandungnya. Kemudian, di akhir cerita
karena merasa menyesal, merasa bersalah, dan berdosa atas perbuatan yang
dilakukan selama ini, ibunya meminta nyawanya dicabut oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa. Hal itu dilakuan sebagai penebus perbauatan
yang dilakukanhya kepada anaknya Malin Kundang sewaktu kecil. Kemudian, hal itu
terjadi, Ibu Malin Kundang akhirnya meningal.
Dalam
cerita Malin Kundang yang sudah mengalami perubahan (adaptasi) ini, penulis
memutarbalikkan cerita dengan yang selama ini familiar di tengah-tengah
masyarakat. Ini dibuat sedemikian rupa dengan tujuan, untuk mengubah pandangan
masyarakat bahwa selama ini yang berbuat salah dan durhaka itu hanya sang anak
kepada orang tuanya. Padahal selama ini yang marak terjadi ditengah-tengah
masyarakat tidak sedikit orang tua (ibu) membuang anak kandungnya sendiri yang
tidak bersalah dan belum tahu apa-apa. Bahkan, tidak sedikit ditemukan bayi
yang dibuang di pinggir jalan atau di tempat-tempat sampah. Hal itu terjadi
disebabkan oleh beberapa hal misalnya, disebabkan oleh himpitan ekonomi,
akaibat pergaulan bebas, dan masih banyak lagi penyebab lainnya.
Berdasarkan
hal di atas selayaknyalah siswa yang sudah memasuki usia remaja atau siswa
jenjang SMP/SMA mengetahui hal itu. Dengan harapan mereka tidak melakukan hal demikian.
2.
Mengapa
Cerita Malin Kundang yang Sudah Diadaptasi Cocok untuk Bahan Pembelajaran
Jenjang SMP/SMA?
Siswa
yang memasuki tingkat remaja atau memasuki usia dewasa selayaknya sudah banyak
mengetahui hal-hal yang bisa membuat mereka celaka. Mereka hendaknya sudah bisa
membedakan yang baik dan yang berbahaya bagi mereka ke depannya. Seperti yang
telah disingung di atas bahwa usia-usia remaja adalah usia dimana mereka sedang
dalam tahapan romantik dan realistik.
Berdasarkan
perbedaan isi cerita antara cerita Malin Kundang yang aslinya dengan yang sudah
mengalami adaptasi ini, penulis bermaksud membuat pembelajaran sastra di
sekolah tidak monoton dan membosankan.
Karena dalam pikiran siswa bahwa cerita Malin Kundang seperti yang
selama ini mereka ketahui adalah cerita seorang anak yang durhaka kepada ibu
kandungnya dan akhirnya dikutuk menjadi batu. Namun, setelah diadptasi ceritanya mengalami
perbedaan yaitu yang durhaka dalam hal ini adalah ibunya. Diceritakan si ibu
telah membuang anaknya dan akhirnya si ibu yang meningal.
Dilihat
dari segi bahanya, cerita ini menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami
oleh jenjang siswa SMP/SMA. Sehingga, tidak membuat mereka merasa kesulitan
dalam memahami isi ceritanya. Selain itu, tidak ada kosakata-kosakata yang
menyilitkan basi siswa. Begitu juga dengan struktur kebahasaannya.
Berdasarkan
psikologi siswa, cerita versi Malin Kundang yang diadaptasi ini, selayaknya
menjadi pelajaran bagi anak-anak remaja jenjang SMP/SMA masa kini. Dimana anak
seusia mereka merupakan masa-masa yang labil. Pada masa-masa ini mereka masih
memiliki sifat egois yang tinggi. Itu artinya, jangan sampai dari sifat
keegoisan itu menjadikan mereka tidak bisa mengendalikan diri yang
kemudian berdampak negatif pada diri
mereka. Karena tidak jarang anak usia SMP/SMA sekarang ini yang hamil di luar
nikah dan tidak mau mengakui bahwa itu anak mereka. Kemudian anak itu dibuang
lantaran malu dan alasan lainnya. Jadi, diharapkan dari cerita ini siswa dapat
memetik nilai moral yang hendak disampaikan oleh penulis.
Selain
dari segi bahasa dan psikologi siswa, berdasarkan latar belakang budaya, cerita
Malin Kundang yang aslinya sudah banyak dikenal dan di baca atau diajarkan oleh
siswa. Selain itu, cerita ini tidak terlalu menuntut pemikiran di luar
jangkauan kemampuan siswa.
C. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pesan moral yang terkandung dalam cerita
Malin Kundang yang sudah diadaptasi sendiri oleh penulis ini adalah bahwa sebagai seorang Ibu jangan pernah
menelantarkan seorang anak, apalagi sampai membuang seorang anak kandung yang
tidak bersalah sama sekali. Menelantarkan seorang anak merupakan satu dosa
besar yang nantinya akan ditanggung oleh orang tua. Hal ini berbeda dengan
pesan morang yang terkandung dalam cerita Malin Kundang aslinya. Sehingga,
menurut penulis cerita tersebut cocok atau sesuai untuk pembelajaran pada siswa
jenjang SMP/SMA yang kondisi usia mereka masih labil.
Dari
pesan moral yang terkandung tersebut, diharapkan cerita ini sesuai dan dapat
menjadi sebagai salah satu bahan pembelajaran pada materi sastra di sekolah.
Selain itu, hendaknya cerita ini dapat mengubah paradigma di masyarakat bahwa
selama ini yang sering melakukan perlakuan tidak baik (durhaka) hanyalah anak
kepada ibu. Namun, pada kenyataannya, zaman sekang ini tidak sedikit seorang
ibu yang memerlakukan anaknya secara tidak wajar (ibu durhaka kepada anaknya).
Referensi:
Novan. 2005. “[GE MOZAIK, Agustus 2005] Pengajaran Sastra Dapat
Tumbuhkan Kreativitas Siswa”, online. http://ganeca.blogspirit.com. diunduh 1 Mei 2014
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Sumaryadi. tth. “Pembelajaran
Sastra di Sekolah: Metode Imersi”, online. staff.uny.ac.id/sites/default/files/imersi%20(edit).pdf, diunduh 1 Mei 2014.