PENGERTIAN
TEKS, KO-TEKS, KONTEKS, DAN HUBUNGAN
KETIGANYA
DALAM KAJIAN WACANA
Oleh:
Fitra Youpika
Fiernando Seftiawan
A.
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu linguistik
begitu pesat. Hal ini dimulai dengan berkembangnya tata bahasa yang berpusat
pada kalimat dan jenis kata kemudian akhirnya pada kajian wacana. Penggunaan wacana
bukan hanya pada cakupan ujaran, tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan,
serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah. Melalui wacana manusia dapat
saling menyapa, menegur, meminta, memohon, menyetujui, menyepakati, bertanya,
meminta keterangan, meyakinkan, mengeritik mengomentari, dan lain sebagainya. Analisis
wacana merupakan suatu kajian
yang menenliti atau menganalisis bahasa
yang digunakan secara alamiah,
baik dalam bentuk tulis
maupun lisan
terhadap para pengguna sebagai suatu elemen masyrakat.
Kajian wacana memiliki unsur
pendukung yang sangat kompleks. Unsur tersebut terdiri atas unsur
verbal (linguistik) dan unsur
nonverbal (nonlinguistik). Struktur linguistik wacana merupakan satuan lingual
tertinggi dalam hirarki kebahasaan. Sementara itu, unsur nonlinguistik yang
melingkupinya mengandung pengetahuan dan informasi tak terbatas. Hal ini menunjukkan
bahwa kajian secara struktural wacana adalah aspek kajian yang sangat luas,
artinya kebahasaan yang lebih besar dari pada kalimat dan klausa dan mempunyai
hubungan antara unit kebahasaan yang satu dengan yang lain. Atau dengan kata
lain, kajian wacana merupakan satuan bahasa yang kompleks dalam hirarki
gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk
wacana yang utuh.
Adapun unsur-unsur yang terkait
dengan kajian wacana ini di antaranya, yaitu teks, ko-teks, dan konteks. Dalam makalah
ini akan dibahas mengenani pengertian dan hubungan antara ketiganya.
B. PENGERTIAN TEKS,
KO-TEKS, DAN KONTEKS
a. Teks
Ada beberapa pegertian
yang dikemukakan oleh para ahli terkait dengan teks. Berdasarkan beberapa pengertian
yang dikemukan ahli tersebut secara keseluruhan hampir sama. Luxemburg (1989) yang
dikutip Tedi dalam makalahnya menyatakan bahwa teks ialah ungkapan bahasa yang
menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan satu kesatuan. Teks dalam hal
ini tidak hanya dipandang dari sisi tata bahasa yang sifatnya tertulis atau
unsur-unsur kebahasan yang dituliskan, lebih dari itu, suatu teks juga dilihat
dari segi maksud dan makna yang diujarankan. Teks memiliki kesatuan dan
kepaduan antara isi yang ingin disampaikan dengan bentuk ujaran, dan situasi
kondisi yang ada. Dengan kata lain, bahwa teks itu berupa ungkapan berupa
bahasa yang di dalamnya terdiri dari satu kesatuan antar isi, bentuk, dan situasi
kondisi penggunaannya.
Kridalaksana (2011:238)
dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa teks adalah (1) satuan bahasa
terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan kalimat, kata, dan sebagainya yang
membentuk ujaran, (3) ujaran yang
dihasilkan dalam interaksi manusia. Dilihat dari tiga pengertian teks yang
dikemukakan dalam Kamus Linguistik tersebut dapat dikatakan bahwa teks adalah satuan
bahasa yang bisa berupa bahasa tulis dan bisa juga berupa bahasa lisan yang dahasilkan
dari interaksi atau komunikasi manusia.
Selain Luxemburg dan
Kridalaksana di atas, Fairclough (1995:4) menyatakan bahwa;
A
text is traditionally understood to be a piece of written language a whole
'work' such as a poem or a novel, or a relatively discrete part of a work such
as a chapter. A rather broader conception has become common within discourse
analysis, where a text may be either written or spoken discourse, so that, for
example, the words used in a conversation (or their written transcription)
constitute a text.
Pendapat yang
dikemukakan oleh Fairclough di atas menujukkan bahwa sebuah
teks itu, secara tradisional merupakan
bagian dari bahasa tertulis yang secara keseluruhan 'bekerja' seperti puisi atau
novel, atau bagian yang relatif diskrit
pekerjaan seperti sebuah bab. Kemuadian, secara konsepsi yang agak lebih luas dan telah menjadi umum dalam analisis wacana, di mana teks mungkin baik
tertulis atau lisan, seperti
kata-kata yang digunakan dalam
percakapan juga dapat dikatkan
sebagai suatu teks.
Berdasarkan beberapa
pendapat di atas dapat diartikan bahwa teks adalah suatu kesatuan bahasa yang
memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh
seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Teks tidak
hanya berbentuk deratan kalimat-kalimat secara tulis, namun juga dapat berupa
ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan, bahkan ada juga teks itu terdapat di
balik teks.
Terkait dengan konsep
teks dalam kajian wacana berbagai macam pandangan yang dikemukakan oleh ahli.
Ada ahli seringkali menggunakan istilah wacana dan teks secara bersamaan. Ada
juga, yang beranggapan istilah wacana dan teks ini sama dan ada juga yang
menganggap kedua istilah tersebut berbeda.
Nunan (1993:6) mengatakan
“text to refer to any written record of
communicative event. Discourse to refer to the interpretation of the
communicative event in context”. Maksud pendapat yang dikemukakan Nunan
tersebut menunjukkan bahwa teks mengacu pada bahasa yang sifatnya tertulis dari
suatu pristiwa komunikasi. Wacana mengacu pada interpretasi dari suatu pristiwa
komunikasi berdasarkan konteksnya. Dengan kata lain, suatu teks lebih mengacu
pada bahasa tulis dan wacana merujuk pada interpretasi yang dilihat dari
kaitannya dengan kontek penggunaaan bahasa dalam proses komunikasi. Ia
mengemukakan “the term ‘text’ and
‘discourse’ are interchangeable”. Artinya, teks dan wacana merupakan dua
hal yang dapat saling bertukar. Dengan demikian, secara definisi pemakaiannya
antara teks dan wacana tidaklah berbeda (sama).
Juez (2009:6)
mengatakan secara umum istilah teks digunakan terbatas pada bahasa tulis dan
wacana terbatas pada bahasa lisan. Ia mengatakan bahwa dalam linguistik modern
telah mengenal konsep teks yang berbeda, yaitu memasukkan setiap jenis ujaran
ke dalam teks. Sebuah teks bisa berupa sebuah artikel majalah, wawancara di TV
dan lain sebagainya. Dengan demikian, teks tidak hanya sekedar sebuah naskah
tertulis yang berisi materi dan informasi tertentu. Setiap jenis ujaran yang
dituangkan melalui media tulis dapat pula dikatakan sebuah teks, sehingga untuk
memahami sebuah teks juga dibutuhkan peran wacana. Berdasarkan hal tersebut,
maka teks dan wacana sama-sama memiliki peran penting dalam bahasa tulis maupun
lisan.
Berbeda dengan
Stubbs (1983:9) yang mengatakan teks dan wacana merupakan dua hal yang berbeda.
Teks merupakan tuturan yang monolog non-interaktif, sedangkan wacana adalah
tuturan yang bersifat interaktif. Dalam konteks ini, teks dapat samakan dengan
naskah, misalnya naskah-naskah materi kuliah, pidato, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara teks dan wacana itu
terletak pada jalur atau segi pemakaiannya saja. Berdasar hal ini, Mulyana
(2005:9) mengatakan ada dua tradisi pemahaman di bidang linguistik, yaitu
analisis linguistik teks dan analisis wacana. Analisis linguistik teks objek
kajiannya berupa bentuk bahasa formal yang berupa kosa kata dan kalimat,
sedangkan analisis wacana terkait dengan analis konteks terjadinya suatu
tuturan itu.
Kemudian,
Edmondson (dalam Sumarlam dkk, 2003:5) juga membedakan anatara teks dan wacana.
Ia mengatakan “a text is structured
sequences of linguistic expressions forming a unitary whole”. Teks
merupakan suatu rangkaian ungkapan bahasa yang tersetruktur membentuk satu
kesatuan. Sementara itu, pada wacana dikatakan bahwa “a discourse is structured event manifest to linguistic (and other)
behaviour”. Wacana adalah suatu peristiwa terstruktur yang dimanifestasikan
dalam perilaku bahasa atau yang lainnya. Batasan teks dan wacana tersebut
mengisyaratkan bahwa danya penekanan pada sifat keteraturan peristiwa ang
dinyatakan dengan bahasa pada wacana. Perbedaan pokok antara keduanya adalah
teks merupakan suatu peristiwa yang terstruktur yang dituangkan atau
diungkapkan melalui bahasa.
Jadi, berdasarkan
adanya pandangan yang menganggap antara wacana dan teks merupakan dua hal yang
sama dan ada juga yang menganggap berbeda, hal itu disebabkan oleh adanya sudut
pandang yang berbeda. Situasi ini sangat bergantung dengan realisasi penggunaan
bahasa. Ada ahli yang melihat dari unsur linguistik dan ada juga yang
melihatnya dari unsur non-linguistik seperti konteks dan ada pula yang
memandang dari aspek strukturnya. Sebuah wacana, misalnya suatu percakapan jika
dikaji prosesnya, maka wacana merupakan proses komunikasi antara pembicara
dengan mitra tutur yang menghasilkan interpretasi. Tetapi, jika dipandang dari
segi produk maka wacana itu dapat berupa teks sebagai produk bahasa yang
menghasilkan makna, sehingga wacana itu dibedakan dengan teks.
Kemudian, jika
sebuah wacana misalnya percakapan dapat dipandang sebagai teks jika dilihat
dalam hubungan kebahasaan antar tuturan. Selain itu, juga berpedoman bahwa
secara hierarki gramatikal wacana merupakan satuan bahasa tertinggi yang lebih
tinggi dari kalimat atau klausa. Kalau mengacu dari pandangan ini wacana dapat
disamakan dengan teks. Teks merupakan data dalam analisis wacana, baik teks
yang lisan maupun tulis. Teks dalam hal ini mengacu pada bentuk transkripsi
rangkaian suatu kaliamat atau ujaran.
b.
Ko-teks
Dilihat berdasarkan
makna dalam Kamus Linguistik (2011:137), koteks diartikan sebagai kalimat atau
unsur-unsur yang mendahului dan/atau mengikuti sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks
adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai keterkaitan dan
kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks yang didampingi itu
bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks yang mendampingi
(mengiringi). Sebagai contoh pada kalimat “Selamat
Datang” dan “Selamat Jalan” yang
terdapat di pintu masuk suatu kota, daerah, atau perkampungan.
Kedua kalimat di atas
memiliki keterkaitan. Kalimat “Selamat Jalan”
merupakan ungkapan dari adanya kalimat sebelumnya, yaitu “Selamat Datang”. Kalimat “Selamat
Datang” dapat dimaknai secara utuh ketika adanya kalimat sesudahnya, yaitu
“Selamat Jalan”, begitu juga sebaliknya.
Keberadaan koteks dalam
suatu wacana menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan
teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Ko-teks
dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana. Dalam wacana yang cukup
panjang sering sebuah kalimat harus dicarikan informasi yang jelas pada bagian
kata yang lainnya. Perhatikan contoh berikut ini.
Markusen
adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Tidak hanya itu, dia juga seorang
pengusaha dan mantan seorang dosen di salah satu PT ternama. Selain itu, beliau
juga dikenal sangat baik oleh masyarakatnya.
Kata dia, beliau dan –nya yang terdapat pada kalimat kedua dan
ketiga di atas mengacu kepada Markusen pada kaliamt pertama. Tafsiran itu
didasarkan pada kalimat yang menyatakan bahwa Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Jadi,
Markusen pada kalimat itu menjadi koteks bagi dia, beliau dan -nya.
c. Konteks
Para ahli bahasa
dahulunya menganalisis kalimat tanpa memperhatikan konteksnya. Makna sebuah
kalimat baru dapat dikatakan benar bila kita mengetahui siapa pembicaranya,
siapa pendengarnya, bagaimana mengucapkannya, dan lain-lain. Oleh sebab itulah,
perlu menganalisis kalimat-kalimat terlebih dahulu dengan menganalisis
konteksnya.
Kleden (dalam Sudaryat,
2009:141) mengatakan konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang dihadapi
seseorang atau kelompok orang. Halliday (1994:6) mengemukakan bahwa konteks
adalah teks yang menyertai teks. Artinya konteks itu hadir menyertai teks. Kemudian,
Kridalaksana (2011:134) mengartikan konteks adalah (1) aspek-aspek lingkungan
fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran tertentu, (2) pengetahuan
yang sama-sama memiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham apa
yang dimaksud pembicara.
Menurut Brown &
Yule (1983) konteks adalah lingkungan atau keadaan tempat bahasa
digunakan. Halliday & Hasan (1994) mengatakan hafiah konteks berarti “something accompanying text”, yaitu sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks, sehingga
dapat diartikan konteks sebagai situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi.
Kemudian, menurut Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan
alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan
dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya,
sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Seperti terpola dari bagan berikut.
Proses Peristiwa Bertutur
Pembicara (O1) Pasangan Bicara (O2)
Maksud
(pra ucap) pemahaman (pascaucap)
Pensandian
(encoding) pembacaan
sandi (decoding)
Pengucapan
(fonasi) penyimakan (audisi)
KONTEKS
Sumber: Mulyana,
(2005:21)
Pada hakikarnya, wacana adalah wujud nyata
komunikasi verbal manusia. Oleh karena itu, wacana selalu mengandaikan adanya
orang pertama (O1) atau biasa disebut pembicara, penulis, penyapa, atau penutur
(addressor), dan orang kedua (O2) sebagai pasangan bicara atau pendengar,
pembaca, penutur (addresse).
Keterpahaman terhadap tuturan antara O1
dan O2, sebagaimana terlihat dalam bagan di atas, sangat tergantung pada
bagaimana kedua pembicara memahami tuturan yang bersifat kontekstual.
Salah satu unsur konteks yang cukup penting
ialah waktu dan tempat. Contohnya: “Waktu
pukul enam sore, desa Tirtomoyo sudah tampak sunyi seperti kuburan. Terpaksa
aku menutup pintu rumah. Masuk dan tiduran. Aku terbangun jam tiga pagi. Tidak dikira ternyata di jalan
sudah banyak orang lalu lalang.” Contoh tersebut memberi informasi tentang
‘keadaan suatu desa berdasarkan konteks tempat dan waktu’. Pemahaman tentang keadaan dan keramaian desa
umumnya berbeda dengan kondisi diperkotaan. Informasi tersebut bahkan bisa
bermakna sebaliknya. Jam 18.00 petang di desa, terutama di daerah pelosok,
barangkali sudah dianggap malam (indikasinya sudah gelap, karena belum ada
penerangan listrik, dan sebagainya.) sementara di kota, konteks waktu seperti
itu masih dianggap sore. Sebaliknta jam 03.00 pagi buta, di desa sudah dianggap
pagi-kerja, sementara di kota, bahkan masih sangat malam. Penafsiran itu
semata-mata berdasarkan pada kondisi dan kebiasaan saja. Bila hal itu dikaitkan
dengan kesibukan kerja, misalnya di terminal, di pasar, di diskotik, atau di
tempat-tempat lain, tentu pemahaman tentang makna dan informasinya juga akan
mengalami perubahan.
Konteks yang berkaitan
dengan partisipan (penutur) juga sangat berperan dalam memahami makna dan informasi tuturan.
Misalnya muncul tuturan berikut ini. “Saya
ingin turun. Sudah capek.” Kalau yang mengucapkan tuturan itu adalah
seorang pejabat atau politisi, maka sangat mungkin yang dimaksud dengan turun
adalah ‘turun dari jabatan’. Namun, pengertian itu bisa keliru bila tuturan
itu, misalnya, diucapkan oleh anak kecil yang sedang memanjat pohon. Maknanya
bisa berubah drastis, yaitu ‘turun dari
pohon’. Singkat kata, untuk mendapatkan pemahaman wacana yang menyeluruh, konteks
harus dipahami dan dianalisi secara mutlak.
Contohnya lain seperti
dialog di bawah ini.
Dialog I
Pembicara : Ibu
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
karena mengambil sesuatu yang dipinjam
Waktu : Pukul 09.00 Wib.
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang.”
Dialog II
Waktu : Pukul 09.00 Wib.
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang.”
Dialog II
Pembicara : Ibu
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Menunggu anaknya yang belum kembali dari
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Menunggu anaknya yang belum kembali dari
rumah
temannya
Waktu :
Pukul 00.00 Wib
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang”.
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang”.
Kalimat “Cepat sekali kamu pulang” yang
diucapkan si ibu pada dialog I dan II memiliki bentuk yang sama, tetapi
maknanya berbeda. Kalimat pada dialog I, si ibu sungguh-sungguh mengatakan
bahwa anaknya sangat cepat kembali dari rumah paman atau dapat dikatakan si Ibu
memuji anaknya yang melaksanakan perintah/kerja dengan cepat. Berbeda dengan
dialog II, kalimat itu memiliki makna sindiran pada anaknya yang terlambat
pulang ke rumah. Kata “Cepat
sekali kamu pulang” pada kalimat dialog II bukan makna sebenarnya yang menyakan
si anak pulang dengan cepat, malah sebaliknya, yaitu pulangnya lambat.
Hal ini harus
diterangkan secara pragmatik karena kata-kata maupun kalimatnya secara semantik
tidak memperlihatkan arti sindiran. Dengan begitu, pendengar atau pembaca harus
mengetahui konteks kalimat tersebut agar dapat mengetahui maksut suatu kaliamt
itu dengan tepat. Begitu pentingnya mengetahui konteks sebuah kalimat atau
wacana karena hal itu dapat menimbulkan perbedaan antara dua kalimat yang sama
seperti yang ada dalam contoh di atas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
perbedaan konteks mengakibatkan perbedaan makna.
Berdasarkan penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa konteks adalah ruang dan waktu yang meliputi
lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam memahami suatu teks. Teks yang
dimaksud dalam hal ini tidak hanya teks-teks yang dilisankan dan yang ditulis,
melainkan termasuk pula kejadian-kejadian yang nirkata (nonverbal) lainnya atau
keseluruhan lingkungan teks itu. Selain itu, konteks juga dianggap sebagai
penyebab terjadinya suatu pembicaraan atau interaksi komunikasi.
d. Macam-Macam Konteks
1. Konteks Situasi
Semua pemakaian bahasa
mempunyai konteks. Ciri-ciri ‘tekstual’ memungkinkan wacana menjadi padu bukan hanya
antara unsur-unsurnya dalam wacana itu sendiri tetapi juga dengan konteks situasinya.
Halliday & Hasan (1994) mengatakan yang dimaksud dengan
konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar
berfungsi. Atau dengan kata lain, kontek situasi adalah keseluruhan lingkungan,
baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi
(diucapkan atau ditulis). Dalam pandangan Halliday (1994: 16), konteks situasi
terdiri dari (1) medan wacana, (2) pelibat wacana, dan (3) modus/sarana wacana.
Medan wacana merujuk pada aktivitas sosial yang sedang terjadi atau apa yang
sesungguhnya disibukkan oleh para pelibat. Pelibat wacana merujuk pada
orang-orang yang mengambil bagian, sifat para pelibat, kedudukan dan peran
mereka, jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat. Sarana
wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk
saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan.
Hymes dalam Brown & Yule (1983: 38-39)
memberi penjelasan lebih rinci mengenai ciri-ciri konteks yang relevan dalam
konteks situasi, yaitu:
a) Pembicara/Penulis (Addressor)
Pembiacara atau penulis adalah
seseorang yang memproduksi/menghasilkan suatu ucapakan. Mengetahui si pembicara
pada suatu situasi akan memudahkan untuk menginterpretasi pembicaraanya.
Umpanya saja seseorang mengatakan ‘operasi harus dilakukan’. Kalau kita ketahui
si pembicara adalah dokter, tentu kita akan paham yang dimaksud dengan ‘operasi’ adalah operasi terhadap
manusia atau hewan. Tetapi jika yang berbicara adalah ahli ekonomi, kita kan
paham bahwa yang dimaksud dengan operasi adalah mendistrubusikan beras ke pasar
dari pemerintah untuk menyetabilkan harga. Beda pula ketika mengatakan adalah
pencuri, perampok, dan polisi. Jadi, jelas sekali bagaimana pentingnya
mengetahui si pembicara demi menafsikan pembicaraannya. Kalau tidak diketahui
siapa pembicaranya, maka akan sulitlah untuk memahami kata-kata yang diucapkan
atau dituliskan.
b) Pendengar/pembaca (Addresse)
Pendengar/pembaca adalah seseorang yang
menjadi mitra tutur/baca dalam suatu berkomunikasi atau dapat dikatakan
seseorang yang menjadi penerima (recepient) ujaran.. Kepentingan mengetahui si
pembicara sama pentingnya dengan mengetahui si pendengar, terhadap siapa ujaran tersebut
ditujukan akan memerjelas ujaran itu. Berbeda penerima ujaran, akan berbeda
pulalah tafsiran terhadap apa yang didengarnya.
c) Topik
pembicaraan (Topic)
Dengan mengetahui topik pembicaraan, akan mudah bagi
seseorang pendengar/pembaca untuk memahami pembicaraan atau tulisan.
d) Saluran
(Channel)
Selain partisipan dan topic pembicaraan, saluran juga snagat
penting di dalam menginterpretasikan makna ujaran. Saluran yang dimaksud dapat
secara lisan atau tulisan.
e) Kode
(Code)
Kode yang dimaksud adalah bahasa, dialek atau gaya bahasa seperti
apa yang digunakan di dalam berkomunikasi. Misalnya, jika saluran yang
digunakan bahasa lisan, maka kode yang dapat dipilih adalah dialek bahasa.
Seseorang yang mengungkaplamn isi hatinya dengan bahasa daerah kepada temannya
akan meresa lebih bebas, akrab, dan lain sebagainya dibandingkan dengan
mengguankan Bahasa Indonesia.
f) Bentuk
Pesan (Message Form)
Pesan yang disampaikan haruslah
tepat, karena bentuk pesan ini bersifat penting. Menyampaikan tentang ilmu
pasti misalnya, dengan rumus-rumus tertentu, pastilah berbeda dengan
menyampaikan ilmu sejarah atau ilmu bahasa. Bentuk penyampaian pesan juga dapat
beragam. Seperti lewat khotbah, drama, puisi, surat-surat cinta, dan lainnya.
g) Peristiwa
(Event)
Peristiwa tutur tentu sangat
beragam. Hal ini ditentukan oleh tujuan pembicaraan itu sendiri. Peristiwa tutur seperti wawancara atau
dipengadilan akan berbeda dengan peristiwa tutur di pasar.
h) Tempat
dan waktu (Setting)
Keberadaan tempat, waktu, dan
hubungan antara keduanya, dalam suatu peristiwa komunikasi dapat memerikan
makna tertentu. Di mana suatu tuturan itu berlangsung; di pasar, di kantot,
dan lainna. Demikian juga, kapan suatu tuturan itu berlangsung; pagi
hari, siang hari, suasana santai, resmi, tegang, dan lainnya.
Dell Hymes dalam Moeliono (2005: 23-24)
merumuskan ihwal faktor-faktor penentu dalam peristiwa tutur dalam konteks
situasi yang tidak jauh berbeda dengan penjelasan sebelumnya, melalui akronim
SPEAKING. Tiap-tiap fonem mewakili faktor penentu yang dimaksudkan.
S : Setting and scene,
yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi
tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang
lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai tuturan.
P : Participants,
peserta tuturan, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik
langsung maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan,
seperti usia, pendidikan, latar social, dsb juga menjadi perhatian.
E : Ends, hasil, yaitu
hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur
(ends as outcomes), dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri (ends in view goals).
A : Act sequence,
pesan/amanat, terdiri dari bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message
content).
K : Key, meliputi
cara, nada, sikap, atau semangat dalam percakapan. Semangat percakapan,
misalnya: serius, santai, akrab, dsb.
I : Instrumentalities
atau sarana, yaitu sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa percakapan
tersebut disampaikan. Misalnya: dengan cara lisan, tertulis, surat, radio, dsb.
N : Norms, menunjuk
pada norma atau aturan yang membatasi percakapan. Misalnya, apa yang boleh
dibicarakan dan tidak, bagaimana cara membicarakannya: halus, kasar, terbuka,
dsb.
G : Genres atau jenis,
yaitu jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana
yang disampaikan. Misalnya: telepon, koran, puisi, ceramah, dsb.
2. Konteks Pengetahuan
Schiffirin (2007: 549)
mengatakan bahwa teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks dalam
istilah pengetahuan, yaitu apa yang mungkin bisa diketahui oleh antara si pembicara dengan mitra tutur dan
bagaimana pengetahuan tersebut membimbing/menunjukkan penggunaan bahasa dan
interpretasi tuturannya. Artinya ketika pembicara dan mitra tutur memiliki
kesamaan pengetahuan akan apa yang dibicarakan atau dapat juga disebut common ground,
maka kesalahpahaman atau ketidaktepatan interpretasi tidak akan terjadi.
Imam Syafi’e (1990: 126)
menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi
empat macam, yaitu:
1)
Konteks linguistik, yaitu kalimat-kalimat di dalam percakapan.
2)
Konteks epistemis, adalah latar belakang pengetahuan yang
sama-sama diketahui oleh partisipan.
3)
Konteks fisik, meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang
disajikan di dalam percakapan dan tindakan para partisipan.
4)
Konteks sosial, yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi
hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.
Keempat konteks tersebut memengaruhi kelancaran
komunikasi. Oleh karena itu, ciri-ciri konteks harus diidentifikasikan secara cermat, sehingga
isi pesan dalam peristiwa komunikasi dapat dipahami dengan benar. Pertama,
memertimbangkan pentingnya pemahaman tentang konteks linguistik. Karena dengan itu kita dapat memahami
dasar suatu tuturan dalam komunikasi. Tanpa mengetahui struktur bahasa dan
wujud pemakaian kalimat tertentu, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
Namun pengetahuan tentang struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat saja,
kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Kemampuan tersebut harus dilengkapi
dengan pengetahuan konteks fisiknya, yaitu dimana komunikasi itu terjadi dan
apa objek yang dibicarakan. Kemudian, ditambah dengan pengetahuan kontek
sosial, yaitu bagaimana hubungan pembicara dengan pendengar dalam lingkungan
sosialnya. Terakhir harus memahami hubungan epistemiknya, yaitu pemahaman atau
pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh pendengar dan pembicara.
Oleh karena itu, uraian
tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkan bahwa konteks
memegang peranan penting dalam memerikan bantuan untuk menafsirkan suatu
wacana. Kesimpulannya, secara singkat dapat dikatakan: in language, context is everything. Dalam berbahasa (berkomunikasi)
konteks adalah segalanya.
C.
HUBUNGAN
ANTARA TEKS, KO-TEKS, DAN KONTEKS
Dilihat dari hakikat teks seperti yang telah
dikemukakan di atas, teks merupakan esensi wujud suatu bahasa. Sebuah teks bukan
sekedar unit tata bahasa yang tampak, akan tetapi teks merupakan unit semantik
memunyai satu kesatuan arti. Kemudian, koteks adalah teks yang bersifat
sejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks yang satu
memiliki hubungan dengan teks lainnya. Teks lain tersebut bisa berada di depan
(mendahului) atau di belakang (mengiringi). Sedangkan konteks adalah situasi
atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebagai
sebab atau alasan terjadinya suatu pembicaraa/dialog/teks.
Berdasarkan ketiga
definisi dari teks, koteks, dan konteks tersebut maka dapat dikatakan bahwa
hubungan antara teks, koteks dan konteks sangatlah erat atau selalu berkaitan
dan tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya koteks dalam struktur wacana
menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan satu
dengan yang lainnya sehingga wacana menjadi utuh dan lengkap. Kemudian, dengan
adanya konteks, maka munculah sebuah wacana yang terdiri dari teks-teks. Hal
tersebut dikarenakan makna yang terealisasi di dalam teks merupakan hasil
interaksi pemakai bahassa dengan konteksnya, sehingga konteks merupakan wahana
terbentuknya teks.
Contohnya:
Ada sebuah wacana dalam bentuk
tulisan yang digantungkan di lorong akhir suatu jalan kampung.
“Terima kasih.”
Wacana itu jelas-jelas
merupakan wacana potongan. Makna dan interpretasi apa yang dapat diambil dari
gantungan tulisan itu? Ternyata ada wacana atau teks lain yang sebelumnya tergantung di lorong masuk
jalan kampung tersebut, yaitu:
“Jalan
pelan-pelan! Banyak anak-anak.”
Wacana “Jalan
pelan-pelan! Banyak anak-anak.” Adalah peringatan bagi orang yang akan melewati
lorong kampung itu. Apabila para pejalan telah menaatinya, misalnya dengan
memerlambat laju kendaraannya, maka wacana “Terima kasih.” adalah suatu ucapan
yang diberikan masyarakat kepada para pengguna jalan (lorong) tersebut. Inilah
yang dinamakan pertalian antara teks satu dengan yang lainnya. Salah satu teks
tersebut berkedudukan sebagai koteks.
Kaitannya dengan
konteks, kedua teks tersebut tidak akan muncul atau digantung di lorong
tersebut jika tidak ada konteks yang melatarbelakangi penduduk, mungkin
orangtua atau ketua RT untuk melakukannya. Ternyata, penduduk di lingkungan
lorong tersebut banyak yang memiliki anak balita (di bawah 10 tahun) yang
sering lalu lalang untuk bermain tanpa memerhatikan pejalan (yang membawa
kendaraan) yang melintas di lorong tersebut.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa
pendapat disimpulkan bahwa teks adalah suatu kesatuan bahasa baik lisan maupun
tulisan yang memiliki isi dan bentuk yang saling berkaitan. Koteks
diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mempunyai
keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya (teks lain). Konteks
adalah ruang dan waktu yang meliputi lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam
memahami suatu teks, yaitu kejadian-kejadian nonverbal atau keseluruhan
lingkungan teks itu.
Dilihat dari hubungan
teks, koteks, dan konteks, konsep teks dan koteks merupakan aspek dari suatu
proses yang sama. Ketika ada teks yang menyertai suatu teks lain, maka teks
lain itu menjadi koteks karena menyertai suatu teks. Oleh karena itulah para
linguis memandang antara koteks dan konteks memiliki perbedaan. Jika koteks
merupakan lingkungan kebahasaan, maka konteks adalah lingkungan di luar bahasa
seperti situasi dan tempat teks itu terbentuk. Dengan demikian, suatu wacana
yang dikatakan utuh apabila mengandung koteks dan konteks yang jelas agar makna
dan maksud wacana tersebut dapat dipahami secara jelas oleh pendengar atau
pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Gillian dan Yule, George. (1984). Discaourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Fairclough, Norman. (1995). Critical Discourse Analysis. New York:
Longman Group Limited.
Halliday,
M.A.K. (1978). Language as Social
Semiotics. London: University Park Press.
Halliday, M.A.K; Ruqaiya Hasan. (1994). Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa
dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Terjemahan Asruddin Barori Tou).
Yogyakarta: UGM Press. (Buku asli tahun terbit
1985).
Juez,
L.A. (2009). Perspective on Discourse
Analysis: Theory and Practice. British: British Library Cataloguing.
Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama.
Mulyana. (2005). Kajian
wacana.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Nunan, David. (1993). Introducing Discourse Analysis. London: Penguin
English.
Schiffrin,
D. (2007). Ancangan Kajian Wacana. (Terjemahan
Unang, dkk) Yogyakarta: Pustaka Belajar. (Buku asli terbit tahun 1994).
Sudaryat, Yayat. (2009). Makna dalam Wacana Prinsip-prinsip Semantik
dan Pragmatik. Bandung: CV Yrama
Widya.
Sumarlam
dkk. (2003). Teori dan Prktik Analisis
Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
Stubbs,
M. (1983). Discourse Analysis: The
Siciolinguistic Analysis of Natural Language. Oxford: Basil Blackwell
Publisher Limited.
Syafe’ie,
I. (1988). Retorika dalam Menulis.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Permadi, Tedi. (tanpa tahun). Teks, Tekstologi, dan Kritik Teks. Makalah. Diunduh 3 Nopember 2014 dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/197006242006041TEDI_PERMADI/Teks,_Tekstologi,_dan_Kritik_Teks.pdf
Terima kasih. Ini sangat membantu
BalasHapuskonteks banyak tergantung dari penekanan maksud kata dan situasi yang terjadi saat itu
BalasHapusSangat membantu. Bagaiamana saya mau membuat dftar pustakanya bisa bantu
BalasHapus