Pentingnya Pendidikan Karakter
di Sekolah Melalui Cerita Rakyat
Oleh
Fitra Youpika
Dalam
kesempatan ini saya akan mengemukakan tentang “Pentingnya Pendidikan Karakter
di Sekolah Melalui Cerita Rakyat”.
Karakter
dalam konteks ini diartikan sebagai ciri khas atau keperibadian yang dimiliki
oleh seseorang yang berupa watak, tabiat, akhlak, perilaku, personalitas, atau
budi pekerti yang membedakan antara orang satu dengan orang lain. Karakter
diaplikasikan dalam bentuk nilai-nilai kebaikan, tindakan atau perbuatan untuk
hidup dan bekerja sama dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Sehingga,
pendidikan karakter dalam hal ini dimaknai sebagai proses pemberian tuntunan
kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya, yang berkarakter dalam
demensi hati, pikir, raga, rasa, dan karsa (Wiyani, 2013:27-28).
Kaitannya
dengan satuan pendidikan, pendidikan karakter secara formal meliputi proses
pembelajaran di kelas, kegiatan sehari-hari di sekolah, dan kegiatan
kokurikuler dan ekstrakurikuler. Namun, dalam satuan pendidikan formal perlu
juga dukungan dari kegiatan sehari-hari di rumah yang sering disebut kultur
keluarga dan di lingkungan masyarakat yang sering disebut dengan istilah kultur
masyarakat (Zuchdi dkk, 2013:25).
Sehubungan
dengan dunia pendidikan, baru-baru ini masih banyak ditemukan kasus pelajar
yang menunjukkan masih kurangnya karakter baik yang dimiliki oleh siswa.
Sebagai contoh, masih banyaknya terjadinya penyalahgunaan media elektonik
seperti internet, menonton film-film yang belum sesuai untuk anak seusia
mereka, bermain game yang berlebihan,
dan lain sebagainya. Kemudian, berdasarkan hasil pengembangan kultur sekolah
tahun 2010 yang dikutip dalam Zuchdi dkk (2013:112-114) yaitu, perilaku murid
yang ditemukan menunjukkan masih kurangnya karakter baik yang ada pada murid
mengenai kedisiplinan, kejujuran, persaudaraan, dan ketaatan beribadah.
Dilihat
dari segi kedisiplinan masih banyak anak yang tidak mengerjakan tugas rumah
atau PR yang ditugaskan oleh gurunya. Kemudian, dilihat dari kejujuran, masih
banyak ditemukan siswa yang meminjam atau mengambil barang milik temanya,
curang dalam permainan, dan tidak mengakui kesalahan yang dilakukan.
Selanjutnya, dari rasa persaudaraan masih banyak ditemukan siswa yang
bertengkar baik di dalam kelas ataupun di luar kelas. Terakhir, mengenai
ketataatan beribadah. Ketaatan beribadah dalam hal ini adalah kesediaan anak
untuk saling hormat-menghormati baik yang seagama maupun yang berbeda agama.
Berdasarkan
fenomena yang ada seperti yang dijelaskan di atas, ada dua karakter utama yang
manjadi dasar dan harus diajarkan di sekolah yaitu, sikap hormat (respect) dan tanggung jawab (responsibility). Setelah dua nilai
karakter tersebut baru nilai-nilai lain yang menjadi pendukung. Nilai-nilai
pendukung tersebut yaitu, kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan,
disiplin diri, tolong menolong, peduli sesama, kerja sama, keberanian, dan
sikap demokratis (Lickona, 2013:74). Karakter-karakter tersebut hendaknya
ditanamkan sejak dini, mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA, sampai perguruan
tinggi. Dalam praktiknya dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya dalam
pembelajaran di sekolah yang berkaitan dengan hal itu, salah satunya bisa
melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
bisa dilakukan dengan mengoptimalkan proses pembelajaran sastra. Hal ini
sejalan dengan makna sastra itu sendiri yaitu, sastra itu indah dan sekaligus sebagai
media atau alat untuk mendidik. Sastra tidak sekadar menjadi sesuatu yang mampu
memberikan keindahan atau hiburan, tetapi juga dapat memberi manfaat.
Pendidikan
karakter merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran.
Dengan kata lain, bahwa pendidikan karakter dengan proses pembelajaran
merupakan dua hal yang memiliki kaitan yang erat. Artinya, pembentukan karater
dapat dilakukan melalui proses pembelajaran (Abidin, 2013:57). Dalam suatu
proses pembelajaran terdapat materi pembelajaran yang akan diajarkan kepada
siswa. Materi pembelajaran yang akan diajarkan kepada siswa tersebut tentunya
sudah disesuaikan dengan mata pelajaran, kurikulum, dan jenjang pendidikan
siswa yang akan diajar. Materi pembelajaran tersebut terlebih dahulu sudah
direncanakan sebelum pelaksanaan proses pembelajaran.
Suatu
materi pada setiap mata pelajaran dapat dituangkan ke dalam bahan ajar. Begitu juga
pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Bahan ajar pada mata pelajaran Bahasa Indonesia banyak memuat
nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai sarana penyampaian nilai-nilai
pendidikan karakter. Bahan ajar yang dimaksud adalah bahan ajar yang berupa
karya sastra.
Abidin
(2013:57) mengemukakan bahwa bahan ajar yang berupa sastra adalah bahan ajar
yang paling tepat digunakan sebagai saluran pendidikan karakter. Ia berpendapat
bahwa karya sastra memiliki nilai-nilai yang dapat digunakan untuk membentuk
budi pekerti siswa. Melalui karya sastra, siswa dapat menemukan
karakter-karakter yang baik untuk diteladani dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Nilai-nilai
pendidikan karakter tersebut seperti, kejujuran, kebaikan, persahabatan,
persaudaraan, kekeluargaan, keikhlasan, ketulusan, kebersamaan, dan nilai-nilai
karakter lainnya.
Selain
dapat dijadikan sebagai saluran dalam pendidikan karakter, melalui sastra juga
dapat memberikan rasa kenikmatan dan keindahan kepada anak didik dan kepada
penikmat sastra pada umumnya. Hal ini sejalan dengan fungsi utama karya sastra
yang dijelaskan oleh Wellek & Warren (2014:23) yang menyatakan bahwa sastra
berfungsi sebagai penghibur sekaligus mengajarkan sesuatu. Mengajarkan sesuatu
dalam hal ini adalah mendidik. Selanjutnya, menurut Haryadi (2011:3-4), sastra
memiliki fungsi indah dan bermanfaat. Indah karena sastra disusun dalam bentuk
yang apik dan menarik sehingga membuat orang senang membaca, mendengar, melihat,
dan menikmatinya. Bermanfaat karena di dalam karya sastra terdapat
nilai-nilai pendidikan moral yang
berguna untuk menanamkan pendidikan karakter.
Menurut
Wibowo (2013:129) dengan mengapresiasi karya sastra seperti, cerpen, novel,
cerita rakyat, dan puisi dapat membentuk karakter baik pada siswa. Salah satu
dari karya sastra yang disebutkan Wibowo tersebut adalah cerita rakyat. Cerita
rakyat merupakan bentuk sastra lisan yang mengandung nilai-nilai kebaikan.
Sehingga, tidak ada salahnya kalau cerita rakyat dijadikan sebagai salah satu
materi dalam proses pendidikan karakter.
Banyak
genre sastra yang dapat dijadikan sebagai materi ajar dalam membangan karakter
siswa, salah satunya dalalah cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan bentuk
sastra lisan. Sastra lisan yang berupa cerita rakyat merupakan salah satu
cerminan suatu masyarakatnya. Hal ini karena sastra memiliki peranan yang
sangat penting dan sekaligus merupakan kebudayaan daerah. Majunya kebudayaan
nasional tentunya sangat berkaitan dengan kebudayaan daerahnya, termasuk di
dalamnya adalah sastra lisan (cerita rakyat). Oleh karena itu, sangat penting
kiranya usaha pelestarian dan pengembangan sastra lisan dalam hal ini cerita
rakyat perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Hal ini yang perlu
ditanamkan kepada siswa yang saat ini sudah mulai meninggalkna kebudayaannya
sendiri khusnya tentang cerita rakyat. Cerita rakyat sudah mulai ditinggalkan
seiring kemajuan zaman, yang menuntuk keadaan yang serba canggih dan praktis.
Salah
satu wujud pelestarian dan pengembangan sastra lisan khususnya cerita rakyat
adalah dengan menjadikannya sebagai materi dalam pembelajaran sastra di
sekolah. Namun, yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah menyesuaikan
materi cerita rakyat tersebut dengan kurikulum pembelajaran yang ada. Bentuk
penyesuaian tersebut adalah dengan melihat kerelevansian cerita dengan materi
yang ada pada sastra yang lingkupnya berada pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia di sekolah. Dengan kata lain, bahwa cerita rakyat tersebut tidak bisa
serta-merta langsung dijadikan sebagai materi pembelajaran, melainkan perlu
dilihat apakah cerita rakyat tersebut relevan atau tidak berdasarkan kurikulum
pembelajaran yang telah ditetapkan.
Berdasarkan
hal di atas, sangat penting cerita rakyat dimanfaatkan atau dijadikan sebagai
alternatif dalam pembelajaran sastra, yang lingkupnya berada pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan tujuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai
karakter yang terkandung dalamnya kepada siswa dan sebagai perwujudan kecintaan
dan pelestarian terhadap kebudayaaan asli nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Yunus. (2013). Pembelajaran Bahasa
Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: PT Refika Aditama.
Haryadi. (2011). Peran Sastra dalam Pembentukan
Karakter Bangsa. Makalah. Diambil pada tanggal 24 Agustus 2014 dari www.staff.uny.ac.id.
Lickona,
Thomas. (2013). Education for Character:
Mendidik untuk Membentuk Karakter (Terjemahan Juma Abdu Wamaungo). Jakarta: Bumi Aksara. (Buku asli diterbitkan
tahun 1991).
Welek,
Rene dan Austin Arren. 2014. Theory of
Literature: Teori Sastra.
(Terjemahan Melani Budianta) Jakarta: Gramedia. (Buku asli terbit tahun 1977).
Wibowo,
Agus. (2013). Pendidikan Karakter
Berbasis Satra: Internalisasi Nilai-nilai Karakter Melalui Pengajaran Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Wiyani,
Novan Ardy. (20013). Membumikan
Pendidikan Karakter di SD: Konsep, dan Strategi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zuchdi
dkk. (2013). Model Pendidikan Karakter:
Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Pengembangan Kultur Sekolah. Yogyakarta:
CV. Multi Presindo MP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar