Jumat, 14 November 2014

CERITA RAKYAT SEBAGAI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMP/SMA



CERITA RAKYAT/LEGENDA “MALIN KUNDANG” YANG DIADAPTASI UNTUK BAHAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMP/SMA

Oleh
Fitra Youpika  

                A. Pendahuluan
Sastra dan bahasa merupakan dua hal yang sangat penting. Kedua memiliki hubungan yang sangat erat. Dengan kata lain, bahwa sastra tidak bisa lepas dengan bahasa. Bahasa memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan siswa dalam mempelajari semua bidang studi.
Berkaitan dengan pembelajaran sastra, Sumardi dalam makalahnya mengatakan sastra Indonesia merupakan salah satu warisan kebudayaan bangsa Indonesia. Sebagai ahli waris, siswa harus mengenal, memahami, dan menghargai sastra miliknya. Namun, harapan akan tinggal harapan apabila pembelajaran di sekolah kurang berupaya untuk secara sadar dan sengaja memperkenalkan dan mendekatkan siswa pada karya-karya sastra.
Seperti yang kita ketahui bahwa pembelajaran sastra di sebagian sekolah belum berlangsung seperti yang diharapkan. Guru cenderung menggunakan teknik pembelajaran yang bercorak teoretis dan hafalan sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung kaku, monoton, dan membosankan. Dengan kata lain, guru kurang kreatif baik dari cara penyampaian materi ataupun dalam pemilihan karya sastra yang tepat untuk diajarkan pada jenjangnya.
Pembelajaran sastra sangat penting dan bermakna apabila disampaikan dengan tepat dan menarik. Prof. Suwarsih Madya (dalam, http://ganeca.blogspirit.com) pernah menyampaikan pandangannya terkait dengan hal ini. Beliau mengatakan bahwa "Pengajaran sastra dapat memberikan andil yang signifikan terhadap keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan, asalkan dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga". Sehingga, pembelajaran sastra akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk itu, diharapkan seorang guru harus kreatif dalam memilih karya sastra untuk diajarkan kepada siswanya.
  

                B. Pembahasan
Sebelunya, yang sangat perlu dipertimbangkan dalam memilih karya sastra yang sesuai untuk pembelajaran. Hal-hal yang perlu pertimbangkan dalam tersebut menurut Rahmanto (1988:27) pertama adalah bahasa, kedua dilihat dari kematangan jiwa (psikologi) siswa, dan yang ketiga adalah latar belakang kebudayaan para siswa.

a.      Bahasa
Dalam usaha memilih karya sastra yang sesuai untuk pembelajaran, guru hendakanya memertimbangkan dari segi bahasanya, baik dari segi kosa kata, tata bahasa, dan wacananya. Selain itu, termasuk juga ungkapan dan referensi yang ada.
b.      Psikologi Siswa
Tahap psikologi siswa dalam hal ini juga harus pertimbangkan. Dalam memilih bahan pembelajaran sastra, tahap perkembangan psikologi ini sangat berpengaruh terhadap minat dan keengganan siswa dalam banyak hal. Ada empat tahapan dalam psikologi ini yaitu; (1) tahap pengkhayal (8 s.d. 9 tahun), (2) tahap romantik (10 s.d. 12 tahun), (3) tahap realistik (13 s.d. 16 tahun), dan tahap generalisasi (16 s.d. selanjutnya.
c.       Latar Belakang Budaya
Dalam hal latar belakang budaya, biasanya siswa akan lebih tertarik pada karya sastra dengan latar belakang yang masih erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka. Dengan demikian, guru hendaknya memilih bahan pembelajaran yang mengutamkan karya-karya sastra yang latar ceritanya dikenal oleh siswanya. Guru hendaknya menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan kemampuan pembayangan yang dimiliki oleh siswa.

1.      Analisis Cerita Malin Kundang yang Sudah Diadaptasi
Seperti yang sudah disinggung dalam pendahuluan di atas bahwasanya pemilihan karya sastra sangat penting sebelum proses pembelajaran dilakukan. Rahmanto (1988:5) mengatakan bahwa bahan pengajaran yang diajarkan kepada siswa haruslah sesuai dengan kemampuan siswanya pada suatu tahapan tertentu. Selain itu, karya sastra yang akan disajikan hendaknya juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukrannya dan kriteri-kriteria tertentu lainnya.
Berdasarkan jenjang remaja yaitu SMP/SMA karya satra yang berupa cerita-cerita sangat sesuai untuk mereka. Salah satu karya sastra tersebut yaitu karya sastra yang berupa cerita rakyat. Setiap cerita rakyat mengandung nilai-nilai moral yang sangat kental. Cerita rakyat tersebut baik yang cerita aslinya ataupun yang sudah mengalami adaptasi.
Salah satu cerita rakyat yang sesuai untuk jenjang SMP/SMA adalah cerita Malin Kundang. Cerita Malin Kundang yang aslinya adalah cerita yang berasal dari provinsi Sumatera Barat yang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu. Namun, cerita Malin Kundang dalam hal ini adalah cerita yang sudah mengalami perubahan (adaptasi). Proses adaptasi yang dilakukan tentunya disesuaikan dengan keadaan sekarang ini yaitu, banyak seorang ibu yang durhaka terhadap anaknya. Banyak seorang ibu yang durhaka, menelantarkan dan bahkan membuang anak kandungnya. Hal itu dilakukan atas berbagai alasan. 
Dalam cerita Malin Kundang asli, yang jahat atau yang durhaka adalah Malin Kundang. Sedangkan dalam cerita Malin Kundang hasil adaptasi atau perubahan, penulis membuat cerita Malan Kundang sedikit berbeda dengan yang aslinya. Diceritakan dalam hal ini yang jahat dan durhaka adalah Ibunya Si Malin Kundang. Ibunya membuang Malin Kundang yang masih kecil dan belum tahu apa-apa.
Malin kundang yang tidak berdosa dibuang oleh ibunya dengan alasan tekanan ekonomi dan rasa malu.  Namun, setelah Malin Kundang dewasa dan sudah menjadi oarang yang sukses, Ibunya mengakui dan mau hidup bersama Malin Kundang. Akan tetapi, karena ketika dibuang Malin Kundang masih sangat kecil yang ia belum sama sekali mengenali Ibunya. Malin Kundang tidak mengetahui bahwa orang tua itu adalah ibu kandungnya. Kemudian, di akhir cerita karena merasa menyesal, merasa bersalah, dan berdosa atas perbuatan yang dilakukan selama ini, ibunya meminta nyawanya dicabut oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal itu dilakuan  sebagai penebus perbauatan yang dilakukanhya kepada anaknya Malin Kundang sewaktu kecil. Kemudian, hal itu terjadi, Ibu Malin Kundang akhirnya meningal.
Dalam cerita Malin Kundang yang sudah mengalami perubahan (adaptasi) ini, penulis memutarbalikkan cerita dengan yang selama ini familiar di tengah-tengah masyarakat. Ini dibuat sedemikian rupa dengan tujuan, untuk mengubah pandangan masyarakat bahwa selama ini yang berbuat salah dan durhaka itu hanya sang anak kepada orang tuanya. Padahal selama ini yang marak terjadi ditengah-tengah masyarakat tidak sedikit orang tua (ibu) membuang anak kandungnya sendiri yang tidak bersalah dan belum tahu apa-apa. Bahkan, tidak sedikit ditemukan bayi yang dibuang di pinggir jalan atau di tempat-tempat sampah. Hal itu terjadi disebabkan oleh beberapa hal misalnya, disebabkan oleh himpitan ekonomi, akaibat pergaulan bebas, dan masih banyak lagi penyebab lainnya.
Berdasarkan hal di atas selayaknyalah siswa yang sudah memasuki usia remaja atau siswa jenjang SMP/SMA mengetahui hal itu. Dengan harapan mereka tidak melakukan hal demikian.

2.      Mengapa Cerita Malin Kundang yang Sudah Diadaptasi Cocok untuk Bahan Pembelajaran Jenjang SMP/SMA?

Siswa yang memasuki tingkat remaja atau memasuki usia dewasa selayaknya sudah banyak mengetahui hal-hal yang bisa membuat mereka celaka. Mereka hendaknya sudah bisa membedakan yang baik dan yang berbahaya bagi mereka ke depannya. Seperti yang telah disingung di atas bahwa usia-usia remaja adalah usia dimana mereka sedang dalam tahapan romantik dan realistik.
Berdasarkan perbedaan isi cerita antara cerita Malin Kundang yang aslinya dengan yang sudah mengalami adaptasi ini, penulis bermaksud membuat pembelajaran sastra di sekolah tidak monoton dan membosankan.  Karena dalam pikiran siswa bahwa cerita Malin Kundang seperti yang selama ini mereka ketahui adalah cerita seorang anak yang durhaka kepada ibu kandungnya dan akhirnya dikutuk menjadi batu.   Namun, setelah diadptasi ceritanya mengalami perbedaan yaitu yang durhaka dalam hal ini adalah ibunya. Diceritakan si ibu telah membuang anaknya dan akhirnya si ibu yang meningal.
Dilihat dari segi bahanya, cerita ini menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh jenjang siswa SMP/SMA. Sehingga, tidak membuat mereka merasa kesulitan dalam memahami isi ceritanya. Selain itu, tidak ada kosakata-kosakata yang menyilitkan basi siswa. Begitu juga dengan struktur kebahasaannya.
Berdasarkan psikologi siswa, cerita versi Malin Kundang yang diadaptasi ini, selayaknya menjadi pelajaran bagi anak-anak remaja jenjang SMP/SMA masa kini. Dimana anak seusia mereka merupakan masa-masa yang labil. Pada masa-masa ini mereka masih memiliki sifat egois yang tinggi. Itu artinya, jangan sampai dari sifat keegoisan itu menjadikan mereka tidak bisa mengendalikan diri yang kemudian  berdampak negatif pada diri mereka. Karena tidak jarang anak usia SMP/SMA sekarang ini yang hamil di luar nikah dan tidak mau mengakui bahwa itu anak mereka. Kemudian anak itu dibuang lantaran malu dan alasan lainnya. Jadi, diharapkan dari cerita ini siswa dapat memetik nilai moral yang hendak disampaikan oleh penulis.
Selain dari segi bahasa dan psikologi siswa, berdasarkan latar belakang budaya, cerita Malin Kundang yang aslinya sudah banyak dikenal dan di baca atau diajarkan oleh siswa. Selain itu, cerita ini tidak terlalu menuntut pemikiran di luar jangkauan kemampuan siswa.

     

                 C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pesan moral yang terkandung dalam cerita Malin Kundang yang sudah diadaptasi sendiri oleh penulis  ini  adalah bahwa sebagai seorang Ibu jangan pernah menelantarkan seorang anak, apalagi sampai membuang seorang anak kandung yang tidak bersalah sama sekali. Menelantarkan seorang anak merupakan satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung oleh orang tua. Hal ini berbeda dengan pesan morang yang terkandung dalam cerita Malin Kundang aslinya. Sehingga, menurut penulis cerita tersebut cocok atau sesuai untuk pembelajaran pada siswa jenjang SMP/SMA yang kondisi usia mereka masih labil.
Dari pesan moral yang terkandung tersebut, diharapkan cerita ini sesuai dan dapat menjadi sebagai salah satu bahan pembelajaran pada materi sastra di sekolah. Selain itu, hendaknya cerita ini dapat mengubah paradigma di masyarakat bahwa selama ini yang sering melakukan perlakuan tidak baik (durhaka) hanyalah anak kepada ibu. Namun, pada kenyataannya, zaman sekang ini tidak sedikit seorang ibu yang memerlakukan anaknya secara tidak wajar (ibu durhaka kepada anaknya).


Referensi:


Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Sumaryadi. tth. “Pembelajaran Sastra di Sekolah: Metode Imersi”, online.  staff.uny.ac.id/sites/default/files/imersi%20(edit).pdf‎, diunduh 1 Mei 2014.


 





KETERAMPILAN MEMBACA DAN STUDI SASTRA DALAM BAHASA ASING



KETERAMPILAN MEMBACA DAN STUDI SASTRA
DALAM BAHASA ASING

Oleh
Fitra Youpika

A.    Pendahuluan
Keterampilan membaca merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa. Membaca adalah suatu kegiatan yang sangat penting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan. Melalui membaca seseorang akan bertambah pengetahuannya. Dengan kata lain, melalui membaca seseorang akan banyak memeroleh informasi sesuai dengan apa yang dibacanya, termasuk juga membaca karya sastra.
Mengutip pendapatnya Taufiq Ismail, bahwa “tingkat kegemaran membaca di kalangan anak sekolah Indonesia saat ini sudah menurun, khususnya membaca karya sastra”. Siswa-siswa lebih senang nonton TV atau main game daripada membaca karya-karya sastra. Padahal hal itu merupakan suatu hal yang sangat penting. Taufiq Ismail mengatakan sekitar tahun 1995-an, saat pemerintahan kolonial jumlah bacaan sastra anak sekolah di Indonesia sudah sebanding atau setara dengan anak-anak sekolah di negara lain. Bahkan, mutu pembelajaran bahasa dan sastra Algemeen Metddelbare School (AMS) kita waktu itu setaraf dengan pembelajaran bahasa dan sastra di SMA yang ada di Eropa, Amerika, dan Jepang saat ini. Hal itu merupakan hal yang luar biasa (Ismail, 2013:2).
Dalam dunia kesastraan seorang guru yang akan menyampaikan materi kesastraan perlu memperhatikan kaitannya antara hubungan kemampuan membaca dalam bahasa asing dan pengajaran sastra. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting karena sudah tidak terlalu diperhatikan dalam pengajaran bahasa, sedangkan dalam praktiknya keduanya hubungan yang sangat erat. Selain itu, dapat mempertimbangkan pendekatan sastra pada prinsipnya dan menjadi kategori dasar yang mungkin bermanfaat untuk guru dalam rangka menghadapi kesulitan dalam pembelajaran sastra khususnya dalam kaitannya dengan sastra dalam bahasa asing.

B.     Keterampilan Membaca
Tarigan (2008:123) mengatakan pada hakikatnya kegiatan membaca terdiri dari dua aspek yaitu ada isi (content) dan bahasa (language). Keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Kemudian, keserasian diantara keduanya merupakan cerminan dan keindahan suatu bahan bacaan.
Kaitannya dengan kemampuan membaca, ada dua cakupan yang berbeda yaitu, membaca bahasa (asing) atau (foreign) language reading dan membaca sastra (literary reading).

a.       Membaca bahasa (asing) atau (foreign) language reading.
Membaca bahasa ini memiliki dua tujuan. Tujuan tersebut adalah pertama, untuk mengembangkan daya kata (increasing word power). Kedua, untuk mengembangkan kosa kata (developing vocabulary). Dimana setiap oroang pada umumnya memiliki dua jenis daya kata. Satu digunakan dalam keterampilan berbicara dan menulis. Kemudian, yang satunya lagi dipergunakan dalam keterampilan membaca dan menulis.

b.      Membaca sastra (literary reading)
Membaca sastra adalah membaca teks atau naskah-naskah yang berkaitan dengan teks atau karya-karya yang berhungan dengan kesastraan. Suatu karya sastra sangat berhubungan dengan keindahan (estetik). Keindahan suatu karya sastra tercermin dari keserasian, keharmonisan antara keindahan bentuk dan keindahan isinya. Sehingga, dapat dikatakan suatu karya sastra itu indah apabila bentuk dan isinya sama-sama indah. Kemudian, terdapat keserasian dan keharmonisan dari keduanya.



C.    Studi Sastra dalam Bahasa Asing
Studi sastra terditi dari dua kata yaitu, studi dan sastra. Studi dapat diartikan sebagai kajian dan sastra merupakan suatu kegiatan kreatif atau sebuah karya seni. Sehingga, dapat dikatakan bahwa studi sastra itu merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan proses penelitian dan penelaahan terhadap suatu karya, dalam hal ini adalah karya sastra (Wellek dan Weren, 2014:3). 
Perlu diketahuai bahwa studi sastra berbeda dengan pendidikan atau pengajaran sastra. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa yang dikatakan suatu studi sastra adalah hal-hal yang berhubungan dengan  penelitian atau penelaahan terhadap karya sastra, sedangkan pendidikan atau pembelajaran sastra adalah lebih kepada proses apresiasi. Ismawati (2013:1) mengemukakan bahwa apresiasi dapat dimaknai sebagai kegiatan menggauli, menggeluti, memahami, dan menikmati suatu karya sastra. Secara spesifik tingkatan apresiasi tersebut adalah kegiatan menggemari, menikmati, mereaksi, dan mereproduksi karya sastra.

D.    Hubungan Kompetensi Sastra dengan Pedagogik
Harus jelas bahwa pengajaran sastra tidak bisa hanya melibatkan  keterampilan membaca biasa. Hal ini pembaca untuk menjadi pembaca yang kompeten dan terbiasa dengan sastra yang terkait dengan budaya tertentu. Penggunaan bahasa membutuhkan pengakuan dari kepadatan kiasan bahwa manusia mampu dan bahwa setiap eksploitasi bahasa. Jadi untuk pedagogi sastra menjadi, pengajaran harus mampu mengembangkan kesadaran sastra yang tersirat dalam kemampuan peserta didik untuk menggunakan bahasa dan peka untuk konvensi tradisi sastra. Untuk mencoba ini dalam bahasa asing adalah menuntut tugas dibuat lebih sulit dalam pengajaran sastra bahasa ibu.
Seorang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik di sekolah perlu memiliki seperangkat ilmu tentang bagaimana ia harus mendidik anak. Guru bukan hanya sekedar terampil dalam menyampaikan bahan ajar, namun disamping itu ia juga harus mampu
mengembangkan pribadi anak, mengembangkan watak anak, dan mengembangkan serta mempertajam hati nurani anak. Pedagogik merupakan ilmu yang mengkaji bagaimana membimbing anak, bagaimana sebaiknya pendidik berhadapan dengan anak didik, apa tugas pendidik dalam mendidik anak, apa yang menjadi tujuan mendidik anak. Dalam hal ini yang berkaitan dengan kesastraan.

E.     Hubungan Kompetensi Sastra dengan Membaca Tingkat Lanjut
Membaca sastra tingkat lanjut adalah pembacaan sastra yang memerlukan strategi membaca biasa. Membaca yang mengeksploitasi persepsi sastra akan memerlukan pendekatan pedagogik yang berbeda. Hal itu dikarenakan sastra bukanlah soal pemahaman dasar teks bahasa. Dalam hal ini adalah makna dari teks yang penting untuk pembaca yang baik, bukan kemampuannya untuk menerjemahkan atau memahami persis seperti yang ada dalm teks.

F.     Implikasi Model Pedagogik dalam Bahasa Asing
Perlu dipahami bahwa pengajaran sastra adalah tentang kemampuan, bukan pengetahuan. Pengajaran sastra bahasa asing harus merespon sebanyak pengajaran sastra dalam bahasa ibu. Ada beberapa tingkatan dalam hal ini adalah sebagai berikut:
a.       Tingkat Linguistik.
Tingkat ini tentu saja dapat dilihat dari segi leksikal atau sintaksis. Tetapi, penting untuk kita sadari bahwa ada model deskriptif linguistik yang dapat mengukur signifikansi dalam hal sastra. Puisi Blake, atau Hemingway The Old Man and the Sea, adalah contoh dari teks bahasa sederhana yang menimbulkan pengaruh yang cukup besar dalam hal sastra.
b.      Tingkat Kebudayaan.
Karya sastra yang berbeda akan dekat dengan harapan budaya dan sosial dari berbagai kelompok peserta didik. Hal ini dapat mempengaruhi siswa dalam hal mengapresiasi sastra. Sebagai contoh, model-model sastra abad kesembilan belas secara kultural lebih dekat dengan pengalaman membaca pembaca relatif sederhana dibandingkan banyak karya-karya kontemporer.
c.       Durasi atau panjang karya sastra.
Durasi atau panjangnya sastra merupakan faktor pedagogik yang sangat penting. Kriteria tersebut dapat diterapkan, dilakukan modifikasi yang tepat, untuk setiap bahan bacaan.
d.      Peran Pedagogik.
Pedagogik yang dimaksud dalam hal ini adalah kaitannya dengan sastra atau kehidupan yang berhubungan dengan kesastraan.
e.       Ketersediaan Genre sastra.
Maksudnya di sini adalah karya sastra hendaknya disesuaikan dengan kapasitas pembaca, sehingga tidak dapat dibatasi pada cerita pendek dan puisi yang hanya didapat ketika belajar di kelas saja. Bahan bacaan jenis sastra lain hendaknya harus tersedia. Dengan kata lain kecukupan bahan bacaan sastra harus terpenuhi, tidak hanya terbatas pada puisi dan cerpen saja.
f.       Karya sastra yang dapat menuntut siswa, sehingga dapat memotovasi siswa


G.    Kesimpulan
Perkembangan kemampuan sastra yang dijelaskan di atas mengisyaratkan bahwa kemampuan membaca bahasa Inggris yang baik. Tetapi, teks pengajaran sastra dan strategi harus dipertimbangkan jauh lebih banyak daripada hanya pengetahuan bahasa. Selain itu, kriteria pemilihan dan penggunaan teks-teks dalam pembelajaran sastra harus mengarah pada pengenalan kebutuhan siswa. Tanggapan otentik siswa terhadap tradisi sastra akan baik membantu pengembangan silabus yang tepat, melalui cobaan dan kesalahan, dan akan dikembangkan melalui urutan dengan hati-hati dinilai teks. Jika membaca harus dipandang sebagai proses yang terintegrasi, pengajaran membaca harus melakukan lebih dari sekedar latihan membaca dalam bahasa target. Teks sastra, jika digunakan dalam kaitannya dengan pandangan serius memperluas kompetensi sastra, akan memberikan dasar sangat cocok dari mana aktivitas bahasa termotivasi dapat berkembang. Dalam bab ini, tentu agak kental, telah memungkinkan untuk hanya memberikan garis sederhana dari pendekatan baru. Tapi ini tampaknya menjadi arah perlu ditelusuri dalam pekerjaan lebih lanjut.


Referensi
Brumfit, Christopher and Ronald Carter. 1991. Literature and Language Teaching. New York. Oxford University Press.

Ismail, Taufiq. (2013, Nopember). Mendidik Anak Bangsa Cinta Membaca Buku dan Piawai Mengarang. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Respon Kebijakan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013, di Auditorium UNY.

Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Welek, Rene dan Austin Arren. 2014. Teori Sastra. Jakarta: Gramedia. (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Melani Budianta)