Kamis, 13 November 2014

ANALISIS CERPEN HARIAN KOMPAS “KARTU POS DARI SURGA” KARYA AGUS NOOR DENGAN STRUKTURALISME SEMIOTIK, INTRINSIK, DAN GENETIK



ANALISIS CERPEN HARIAN KOMPAS “KARTU POS DARI SURGA” KARYA AGUS NOOR DENGAN STRUKTURALISME SEMIOTIK, INTRINSIK, DAN GENETIK

 Oleh 
Fitra Youpika


A.  ANALISIS BERDASARKAN STRUKTUR INTRINSIK
Unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dsb. Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri. Menurut Menurut Nurgiyantoro dalam bukunya Pengkajian Prosa Fiksi unsur- unsur intrinsik ialah unsur- unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.

Tema
Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Tema merupakan aspek utama yang sejarah dengan makna dalam kehidupan manusia, sesuatu yang dijadikan pengalaman begitu diingat (Stanton, 2007: 36).
Dalam cerpen Kartu Pos dari Surga ini temanya adalah TENTANG KEJUJURAN

Alur
Alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995:113). alur dalam cerpen ini adalah alur CAMPURAN.

Tokoh/penokohan:
“Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita” (Jones dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:165).
a.       Beningnya : polos, cerdas.
b.       Marwan    : menutupi kejujuran dengan kebohongan karena takut membuat
                          sedih anaknya yang masih kecil
c.       Ren           : baik, kreatif.
d.       Sari           : baik.
e.       Ita             : pemberi saran yang kurang baik yaitu menyuruh seorang ayah
        menutupi kejujuran pada anaknya.
Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 216).
1)      TEMPAT:
Halaman rumah, di dalam rumah, kamar, dan di kantor
2)      WAKTU
Peristiwa dalam cerpen “Kartu Pos dari Surga” terjadi di kalangan masyarakat yang cukup modern. Karena pada cerpen dikatakan bahwa sudah ada HP pada saat itu.

Sudut Pandang
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan : Siapa yang menceritakan atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Pengertian sudut pandang adalah pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang dapat disamakan artinya dan bahkan dapat memperjelas dengan istilah pusat pengisahan. Dalam cerpen ini sudut pandangnya adalah Persona Ketiga: “dia”

Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan pengarang dalan cerpen ini adalah gaya BAHASA KIAS/SIMBOL:
(1)  Kartu pos dari surga, (2) Beningnya, (3) Seperti capung melintas halaman,(4) Mulutnya langsung kaku, (5) Sahabat pena, 6) Mata beningnya berkaca-kaca, (7) Cahaya yang terang keperakan, (8) Hawa dingin bagai merembes dari dinding, (9) Bau wangi yang ganjil mengambang dan cahaya itu makin menggenangi lantai, dan (10) Sepotong kain serupa kartu pos.
Keterangan:
    Data dari analisis Intrinsik di atas terlampir (pada lampiran 2).


B.     ANALISIS BERDASARKAN STRUKTURAL SOSIAL GENETIK
Strukturalisme genetik muncul sebagai reaksi atas “strukturalisme murni” yang mengabaikan latar belakang sejarah dan latar belakang sastra lain (Endaswara, 2008:55). Strukturalisme genetik memasukkan faktor genetik dalam memahami karya sastra. Genetik artinya asal-usul karya sastra. Adapun faktor yang terkait dengan asal usul karya sastra tersebut adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengondisikan karya sastra saat diciptakan (Pradopo dkk, 2001: 60-61).
Berdasarkan analisis strukturalisme genetik, proses awal kemunculan cerpen ini berangkat dari peristiwa jatuhnya pesawat Adam Air di perairan Majene, 1 Januri 2007. Bermacam ide cerita bermunculan, kira-kira tentang tragedi para penumpang yang kena kecelakaan pesawat. 
Pengarang menemukan titik pijak buat cerpen ini, ketika para penumpang Adam Air diberitakan tak ada yang ditemukan. Hal inilah yang merupakan awal dari mana pengarangakan mengolah kisah. Tiadanya mayat yang ditemukan itu juga menjadi sesuatu yang penting, bila kita mengingat tradisi ziarah kubur. Bagaimana mungkin kita bisa melakukan ziarah kubur, kalau yang mati tak ada kuburnya? Maka, kisah ini dibuat seseorang yang bingung atau berduka karena tak tahu bagaimana menjelaskan sebuah kematian. Siapa yang menjelaskan, dan pada siapa? Sehingga, munculah tokoh anak kecil. Menjelaskan kematian pada anak kecil, sudah tentu tak mudah. Apalagi ketika tak ada mayat, tak ada prosesi pemakaman. Itulah yang kemudian mulai menempel pada benak pengarang, seperti kemudian muncul dalam cerpen itu:
Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah…

Mengapa si anak merindukan ibunya (yang mendadak tak pulang ke rumah)? Mesti ada ikatan khusus, atau hubungan batin tertentu, yang membuat si anak benar-benar merasa kehilangan. Atau, kehadiran si ibu selalu menjadi sesuatu yang penting bagi si anak, hingga ketika ia tak ada, si anak merasa benar-benar kehilangan. Munculah sosok ibu dalam cerpen yang ingin pengarangtulis adalah seseorang wanita yang selalu bepergian naik pesawat, jauh ke banyak negeri. Ada sesuatu yang khusus yang mewakili ibu itu, bila ia bepergian berhari-hari atau berbulan-bulan, sesuatu yang menandai kehadirannya buat si anak. Mungkin ia selalu membawakan oleh-oleh bila singgah di satu kota. Kalau oleh-oleh itu semacam mainan atau boneka itu sudah biasa maka pengarang membuat Kartu Pos supaya kelihatan unik. Setiap bepergian, setiap singgah di suatu tempat, si ibu itu selalu mengirim kartu pos buat anaknya! Kartu pos itu menjadi susuatu yang khusus, yang selalu dinanti oleh anaknya. 
Pengarang membuat alur cerita yang flashdisk karena dalam cerita ini menggunakan kartu pos dan itu merupakan kebiasaan zaman dahulu bukan zaman sekarang, padahal kejadian yang ingin diceritakan adalah zaman sekarang yang sudah modern. Maka, pengarang memasukkan cerita sewaktu Ren masih kecil yang sering dikirimi oleh orang tuanya kartu pos.
Pengarang membuat ending dalam cerita ini membuat pembaca berimajinasi, jangan-jangan Ren pergi meninggalkan Beningnya bukan karena mati, tetapi karena pergi dengan laki-laki lain, seperti yang pengarangisyaratkan dalam adegan ini:

“Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama.

Marwan masih ngantuk, karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya pulas, “Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”
“Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”

Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita…

Kalau kita membaca cerita dari awal, tadinya menyangka kisah ini adalah tentang perselingkuhan. Namun, pengarang membuat ending yang magis. Hal ini dikarenakan,  ending yang magis bisa menjadi ledakan yang membebaskan imajinasi dan spiritual pembaca, semacam pengalaman estetis ketika membaca cerpen itu.
 

C.     ANALISIS DENGAN STRUKTURALISME SEMIOTIK
Cepren kartu pos dari surga karya Agus Noor  merupakan cerpen yang menggunakan banyak kata yang bermakna tidak sebenarnya atau kiasan. Cerpen ini akan dianalisis dengan telaah semiotik sastra, karena di dalam cerpen ini banyak menggunakan simbol-simbol yang mengibaratkan sesuatu agar cerpen ini terasa lebih menarik.
Menurut Pradopo (2007) bahwa dalam menganalisis karya sastra dengan pende­katan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Selain itu, menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir (2011) dalam bukunya bahwa semiotik ini merupkan salah satu bagian dari studi bahasa yaitu linguistik dan karya sastra. Sedangkan menurut Pradopo (2001: 96) untuk memberi makna secara semiotik dapat dilakukan dengan pembacaan secara heuristik dan hermeneutik.

1.      Analisis Aspek Verbal/Bahasa
Dalam cerpen ini pengarang menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti oleh para pembaca. Bahasa yang digunakannya tidak kaku atau terlalu bebas, jadi cerpen ini bisa dinikmati kalangan manapun.

2.      Analisis cerpen berdaskan strukturalisme semiotik.
Berdasarkan teori di atas dari cerpen Kartu Pos dari Syurga karya Agus Noor adalah sebagai berikut:

  • Dari judulnya “Kartu Pos dari Surga” ini memiliki simbol suatu kabar dari alam lain lewat sebuah kartu pos dengan tanda-tandanya, yaitu kartu pos itu terbuat dari kain kafan dan pinggirannya coklat terbakar agar terlihat seperti motif. 
  • Beningnya, nama anak ini menandakan bahwa sang anak masih kecil dan tak berdosa, bening artinya tanpa noda sedikitpun.
  • Seperi capung melintas halaman, menandakan Beningnya berlari tanpa melihat sekeliling apa ada penghalang atau tidak.
  •  Mulutnya langsung kaku, mengartikan bibirnya tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.
  •  Sahabat pena, adalah pertemanan yang terjali hanya lewat sebuah tulisan yang saling dikirim antar satu dengan yang lainnya. Bisa dikatakan pula sebagai teman yang maya, karena sosoknya tidak lagsung berjumpa. 
  • Mata beningnya berkaca-kaca, maksud dari kalimat ini adalah mata beningnya mengeluarkan air mata. Berkaca-kaca sama artinya dengan menangis.
  •  Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. 
  • Cahaya yang terang keperakan. Cahaya disini bukan cahaya biasa namun memberikan tanda bahwa cahaya ini pengantar suatu pesan. Pengarang ingin memberikan tanda bahwa ada sesuatu keganjilan yang terjadi seperti yang sudah biasa terjadi jika ada cahaya yang temaram dan bukan cahaya lampu itu menandakan bahwa sesuatu yang gaib datang. 
  • Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Ini juga pertanda yang sama dengan yang sebelumnya. Situasi atau keadaan seperti ini menandakan sedang ada keganjilan yang berhubungan denga alam gaib. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi yang bersangkut paut dengan alam gaib. 
  •  Bau wangi yang ganjil mengambang dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Di sini diceritakan seperti ini untuk menguatkan persepsi awal tentang hadirnya keganjilan (hal aneh). 
  • Sepotong kain Serupa Kartu Pos. Di sini pengarang kembali pada awal atau judulnya. Pengarang memberi tanda untuk mengartikan maksud dari judul dan kalimat terakhirnya berkaitan dan memiliki arti yang sama namun berbeda fungsi. Pada kalimat di akhir memperkuat persepsi atas judul dengan cerita-cerita pada bagian klimak cerita dengan menggunkan tanda-tanda tadi yang telah disampaikan.


D.     KESIMPULAN
Berdasarkan analisis strukturalisme intrinsik bahwa tema dalam cerpen Kartu Pos dari Syurga karya Agus Noor adalah tentang kejujuran dan menggunakan alur sorot balik dalam penceritaannya. Latar tempat yang ada dalam cerita tersebut adalah di depan rumah, di kamar Marwan, di depan kamar beningnya, dan di ruang kantor. Tokoh tokoh dalam cerita itu Marwan, Beningnya, Ren, Bik Sari, dan Ita. Sedangkan sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang orang ketiga. Pesan yang ingin disampaikan adalah supaya orang-orang jujur terhadap siapapun walaupun kepada anak kita sendiri yang masih dikira belum cukup umur untuk mengetahuinya, karena jika disimpan lebih lama bisa-bisa jadi tambah menyakitkan.
Analisis strukturalisme genetik merupakan analisis berdasarkan asal-usul karya sastra diciptakan yang berhubungan erat dengan pengarang dan lingkungan sosial yang mendukung terciptanya karya sastra tersebut. Berdasarkan analisis strukturalisme genetik cerpen Kartu Pos dari Surga karya Agus Noor tercipta atas dasar terjadinya pristiwa jatuhnya pesawat Adam Air di perairan Majene, 1 Januari 2007. Di mana pada peristiwa itu semua penumpang meninggal dunia dan tak ditemukan jenazahnya. Hal ini yang berhubungan erat dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, di mana kalau orang yang telah meninggal dimakamkan dan menjadi tempat berziarah bagi keluarganya.
Sedangkan berdasarkan analisis strukturalisme semiotik dalam menganalisis suatu karya sastra menyajikan tanda-tanda yang dimuat melalui makna bahasa yang digunakan. Dari hasil analisis dan kajian terhadap Cerpen Kartu Pos dari Syurga karya Agus Noor, dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: simbol Sebagai perlambang hal-hal yang muncul di dalam cerpen ini. Simbol-simbol yang ada dalam cerpen ini banyak sekali dan meskipun banyaknya simbol tersebut bukan berati bahwa karakter Agus Noor dalam menulis di semua karangannya adalah banyak memakai simbol. Akan tetapi khusus di cerpen ini Agus Noor banyak memberikan simbol-simbol, yang menjadikan cerpen ini menjadi lebih bagus.




DAFTAR PUSTAKA


Endaswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastar; Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Medie Pressindo.

Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Axiologi, First Order, Second Order & Third Order of Logics, dan Mixing Paradigms Implementasi Methodologik. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Noor, Agus. 2009. Kartu Pos dari Surga :20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009:PT Gramedia Pustaka Utama.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat. Dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya.

---------------------. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.











 Lampiran 














LAMPIRAN 1

Arsip Cerita Pendek Kompas Minggu
Kartu Pos dari Surga
Karya
Agus Noor

Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur. “Hati-hati!” teriak supir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Guru menegurnya karena terus-terusan melamun.
Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya pun segera berlari berteriak, “Biiikkk…, Bibiiikkk….” Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget melihat Beningnya terengah-engah begitu.
“Ada apa, Non?”
“Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?”
Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu seketika meredup, seakan sudah menebak, karna ia terus diam saja. Sungguh, ia selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.
Marwan hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi. “Sekarang, setiap pulang, Beningnya selalu nanya kartu pos…” suara pembantunya terdengar serba salah. “Saya ndak tahu mesti jawab apa…” Memang, tak gampang menjelaskan semuanya pada anak itu. Ia masih belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?”
“Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater kemari…”
Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.
Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota-kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya. Marwan kadang meledek istrinya, “Hari gini masih pake kartu pos?” Karna Ren sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS. Meski baru play group, Beningnya sudah pegang hape. Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya hand phone agar bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah, untuk berjaga-jaga kalau ada penculikan.
“Kau memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…”
Marwan tak lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya, Marwan tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat surat pos yang membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena, yang dikenal lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima surat balasan atau kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya keras-keras. Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika surat yang dikirimkannya sendiri itu ia terima.
Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang pelaut. “Setiap kali menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa Ayahku muncul dari negeri-negeri yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu…” ujar Ren. Marwan ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh kenangan, “Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang.” Ren kecil duduk di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah keindahan kota-kota pada kartu pos yang mereka pandangi. “Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan punya Ayah pelaut.” Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan. “Mungkin aku memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku rasakan…”
Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan yang lucu: pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang dikirimkannya dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!
Ketukan di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri sayu menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding kamarnya. Pukul 11.20.
“Enggak bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?”
Marwan menggandeng anaknya masuk.
“Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya.
“Nganter ke mana? Pizza Hut?”
Beningnya menggeleng.
“Ke mana?”
“Ke rumah Pak Pos…”
Marwan merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
“Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya, ngambil kartu pos dari Mama.”
Marwan hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD Pokoyo, kartun kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht tertambat. Air mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit karang yang menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos. Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.
Andai ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga Beningnya tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah itu?
“Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama. Marwan masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya pulas,
“Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”
“Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”
Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita….
“Atau kamu bisa saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren….”
Marwan tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.
Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah.
Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
“Wah, udah datang ya kartu posnya?”
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
“Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini bukan tulisan Mama…”
Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan.
Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat, sekilas ia melihat jam kamarnya.
“Ada apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat.
“Beningnya…”
Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
“Beningnya! Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci. Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api mulai melahap kasur.
“Beningnya! Beningnya!” Bik Sari ikut berteriak memanggil.
“Buka Beningnya! Cepat buka!”
Entahlah berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi. Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan.
“Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. “Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri….”
Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.
Singapura-Yogyakarta, 2008















LAMPIRAN 2

Data Analisis Tema, Alur, Penokohan, Latar, Sudut Pandang, dan Gaya Bahasa.

N
Identifikasi
Analisis
Deskripsi
Cuplikan Cerpen
Penafsiran/
Ulasan
Kesimpulan
TEMA
…” suara pembantunya terdengar serba salah. “Pengarangndak tahu mesti jawab apa…” Memang, tak gampang menjelaskan semuanya pada anak itu. Ia masih belum genap 6 tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?”
“Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet nganter ke mari…”
Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.
Lewat cerpen ini kita akan dihadapkan pada kenyataan, betapa berat mempertahankan kejujuran. Betapa sulit mengajarkan kejujuran. Dan, betapa musykil menanamkan kejujuran itu.
Selain itu, Agus menunjukkan kepada kita, selaku pembaca, bagaimana menjadi Ayah yang bijak. Ayah yang jujur.
Setiap kebohongan pasti akan melahirkan kebohongan baru, demi menutupi kebohongan sebelumnya. Sebenarnya, niat Marwan baik. Ingin membahagiakan anaknya. Namun, cara yang dilakukannya salah.
Terbukti, Beningnya mengetahui bahwa kartu pos yang dia terima, keesokan harinya, bukan dari Mamanya.
TEMA : SULITNYA  MEMPERTAHANKAN KEJUJURAN
ALUR
Pengenalan: MOBIL jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur. “Hati-hati!” teriak sopir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya...........
Flashback: ..... Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota-kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya........
Konflik: Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
....“Wah, udah datang ya kartu posnya?”
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
“Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini bukan tulisan Mama…”....
Penyelesaian: ...“Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. “Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti ngater kartu posnya sendiri…”
Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.....
Cerita ini dimulai dengan kedatangan seorang gadis kecil yang bernama Beningnya dengan tergesa-gesa. Sesampainya di depan rumah, Beningnya mendapati kotak pos yang kosong. Kemudian ia bertanya mengenai kartu pos kepada Sari yakni pembantunya. Sari yang kebingungan tidak tahu harus menjawab apa. Malamnya, Marwan yang tidak lain ayah dari Beningnya ditanya oleh Beningnya. Ia bertanya mengenai kartu pos dari Mamanya. Dengan berbagai alasan, Marwan menjawab pertanyaan tersebut. Seketika ia teringat istrinya yang suka mengirimkan kartu pos kepada anaknya apabila ia sedang bekerja. Tiba-tiba pintu terketuk dan membuat Marwan bangkit. Ternyata itu Beningnya yang membawa kotak kayu pemberian mamanya untuk menyimpan kartu pos. Ia tidak bisa tidur dan minta diantar ke rumah tukang pos. Marwan tiba-tiba berpikir, bagaimana caranya ia untuk memberi tahukan bahwa sebenarnya mamanya sudah meninggal dalam perjalanan. Keesokan harinya, Marwan menuliskan kartu pos untuk anaknya. Ia berharap anaknya mengira kartu pos tersebut berasal dari mamanya. Ternyata anaknya mengetahui bahwa kartu pos tersebut bukan tulisan mamanya. Mata Beningnya berkaca-kaca. Cerita ini diakhiri dengan kemunculan cahaya yang terang keperakan di kamar Beningnya dan ternyata cahaya tersebut menjadi penanda sebagai kedatangan mama Beningnya ke hadapan anaknya tersebut.
ALUR: FLASHBACK
TOKOH
T1: ... MOBIL jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur.
T2:... Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu seketika meredup,...
T3: ... MARWAN hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi....
.... Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.....
T4: ... Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang pelaut....
T5: ... “Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita,...

Tokoh-tokoh adalah :
a. Beningnya : Merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Ia selalu menanti kartu pos dari mamanya. Sifat dari tokoh ini cerdas. Hal tersebut terbukti ketika Beningnya mendapatkan kartu pos, ia mengetahui bahwa kartu pos itu bukan tulisan mamanya.
b. Marwan : Merupakan tokoh yang berperan sebagai Ayah dari Beningnya. Tokoh ini tidak ingin anaknya mengetahui keadaan Ibunya yang sebenarnya. Ia juga tidak ingin anaknya terus bersedih. Pada cerpen, tokoh ini merasa kesulitan untuk memberitahu kepada anaknya mengenai keadaan Ibunya yang sebenarnya. Tokoh ini juga selalu berusaha untuk menghindari menjawab langsung pertanyaan dari Beningnya. Hanya cara yang digunakan tokoh ini dalam menutupi kenyataan kurang baik yaitu dengan memberikan kebohongan pada anaknya yang masih kecil.
c. Ren: Merupakan tokoh yang berperan sebagai Ibu Beningnya. Tokoh ini ingin agar anaknya merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dirasakannya ketika ia mendapat kartu pos dari ayahnya. Pekerjaan tokoh ini, membuatnya sering berpergian jauh dan lama. Tokoh ini memiliki kegemaran mengirimkan kartu pos dari daerah yang disinggahinya.
d. Sari: Merupakan salah satu tokoh pembantu yang berperan sebagai pembantu rumah Beningnya. Ia memiliki sifat yang baik hati dan tidak menginginkan anak majikannya bersedih.
e. Ita : Merupakan tokoh pembantu yang berperan sebagai teman kantor Marwan. Tokoh ini memberikan saran kepada Marwan mengenai cara menyampaikan tentang keadaan ibunya kepada sang anak.
a.  Beningnya : polos, cerdas.
b. Marwan :
menutupi kejujuran dengan kebohongan karena takut membuat sedih anaknya yang masih kecil.
c. Ren : baik, kreatif.
d. Sari : baik
e. Ita : pemberi saran yang kurang baik yaitu menyuruh seorang ayah menutupi kejujuran pada anaknya.
LATAR
... MOBIL jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur. “Hati-hati!” teriak sopir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali ini? ...
... Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu...
...“Beningnya! Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit ia buka....
Latar cerpen “Kartu Pos dari Surga”, baik latar tempat dan latar waktu, sangat cocok dan mendukung tema. Latar tempat pada cerpen ini menggambarkan suatu keadaan normal yang sudah biasa di kunjungi oleh kalangan masyarakat yaitu sekolah dan rumah. Latar yang termasuk biasa ini cukup mendukung kejadian dalam cerpen. Misalnya disaat Ibunya menampakan diri. Latar yang digunakan yaitu kamar Beningnya. Latar yang seperti ini yang menyempurnakan cerita. Karena para pembaca mengetahui bahwa kamar adalah tempat anak untuk bermain. Sehingga penulis memunculkan kamar sebagai latar untuk kemunculan ibunya tersebut. Latar yang pas dan tidak berlebihan ini membuat latar dalam cerpen ini menjadi sangat cocok.
LATAR

TEMPAT:
·       HALAMAN
·      RUMAH
·      KAMAR
WAKTU

Peristiwa dalam cerpen “Kartu Pos dari Surga” terjadi di kalangan masyarakat yang cukup modern. Karena pada cerpen dikatakan bahwa sudah ada HP pada saat itu.

SUDUT PANDANG
... MOBIL jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur. ...
... MARWAN hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi....
Penyebutan nama tokoh yang ditampilkan dalam cerpen merupakan gambaran penyudutpandangan dengan menggunakan Sudut Pandang Persona Ketiga: “dia”
SUDUT PANDANG
Persona Ketiga: “dia”
GAYA BAHASA
... MOBIL jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur. “Hati-hati!” teriak sopir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman...
... Terburu Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar....
Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.

Bahasa yang digunakan dalam cerpen ini cukup mudah dimengerti. Kalimat-kalimat yang digunakan adalah kalimat-kalimat sederhana dengan susunan yang baik.
Walaupun demikian sebuah karya fiksi tak lepas dari gaya bahasa yang mengandung makna-makna kias/konotatif begitupun dengan cerpen ini antara lain:
Dari segi judulnya “Kartu pos dari surga” ini memiliki simbol suatu kabar dari alam lain lewat sebuah kartu pos dengan tanda-tandanya, yaitu kartu pos itu terbuat dari kain kafan dan pinggirannya coklat terbakar agar terlihat seperti motif.
Beningnya, nama anak ini menandakan bahwa sang anak masih kecil dan tak berdosa, bening tanpa noda sedikitpun.
Seperi capung melintas halaman, menandakan beningnya berlari tanpa melihat sekeliling apa ada penghalang atau tidak.
Mulutnya langsung kaku, mengartikan bibirnya tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.
Sahabat pena, adalah pertemanan yang terjali hanya lewat sebuah tulisan yang saling dikirim antar satu dengan yang lainnya. Bisa dikatakan pula sebagai teman yang maya, karena sosoknya tidak lagsung berjumpa.
Mata beningnya berkaca-kaca, maksud dari kalimat ini adalah mata beningnya mengeluarkan air mata. Berkaca-kaca sama artinya dengan menangis.
Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Cahaya disini bukan cahaya biasa namun memberikan tanda bahwa cahaya ini pengantar suatu pesan. Pengarang ingin memberikan tanda bahwa ada sesuatu keganjilan yang terjadi seperti yang sudah biasa terjadi jika ada cahaya yang temaram dan bukan cahaya lampu itu menandakan bahwa sesuatu yang gaib datang.
Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Ini juga pertanda yang sama dengan yang sebelumnya.situasi atau keadaan seperti ini menandakan sedang ada keganjilan yang berhubungan denga alam gaib. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi yang bersangkut paut dengan alam gaib.
Bau wangi yang ganjil mengambang Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Disini diceritakan seperti ini untuk menguatkan persepsi awal tentang hadirnya keganjilan.
Ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci. Bau sengit membuat tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Disini pengararang lebih mempertegas lagi keadaan dan menguatkan makna dari symbol yang telah ada untuk agar pembaca semakin mengerti apa maksud dari cerpen ini.
Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan. Menandakan seseorang telah datang dan membuat keadaan seperti itu.
Tadi mama datang. Kalimat ini memberikan jawaban dari tanda sebelumnya tentang kartu pos yang berserakan. Pengarang memberi tanda lalu memberikan jawaban atas tanda itu. Fungsi kalimat ini member penguatan atas kalimat sebelumnya
Sepotong kain serupa kartu pos. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar. Disini pengarang kembali pada awal atau judulnya. Pengarang memberi tanda untuk mengartikan maksud dari judul dan kalimat terakhirnya berkaitan dan memiliki arti yang sama namun berbeda fungsi. Pada kalimat di akhir memperkuat persepsi atas judul dengan cerita-cerita pada bagian klimak cerita dengan menggunkan tanda-tanda tadi yang telah disampaikan.
GAYA BAHASA
BAHASA KIAS/SIMBOL:
ü Kartu pos dari surge
ü Beningnya
ü Seperti capung melintas halaman
ü Mulutnya langsung kaku
ü Sahabat pena
ü Mata beningnya berkaca-kaca
ü Cahaya yang terang keperakan
ü Hawa dingin bagai merembes dari dinding
ü Bau wangi yang ganjil mengambang Dan cahaya itu makin menggenangi lantai
ü Sepotong kain serupa kartu pos





LAMPIRAN 3


Biografi Pengarang

Lahir di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968. Alumni Jurusan Pendidikan Teater Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Meskipun berlatar belakang pendidikan teater, ia aktif menulis. Ia menyatakan bahwa menulis baginya cara untuk menyelamatkan diri dari kegilaan. Dikenal sebagai cerpenis, penulis prosa, dan lihai menulis naskah panggung dengan gaya parodi dan terkadang satir. Monolog Matinya Toekang Kritik adalah salah satu karyanya yang menertawakan keadaan Indonesia. Bersama Ayu Utami, ia menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik Rancangan Undang Undang Pornografi.
Selain menulis prosa, ia juga menulis cerpen. Karya cerpennya dimuat dalam Antologi Ambang (1992), Pagelaran (1993), Lukisan Matahari (1994). Sedangkan cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam antologi bersama, diantaranya Lampor (Cerpen Pilihan Kompas, 1994) dan Jl. Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), Dari Pemburu ke Tapuetik (Majelis Sastra Asia Tenggara dan Pusat Bahasa, 2005), dll.
Buku-buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit antara lain, Memorabilia (Yayasan untuk Indonesia, 1999), Bapak Presiden yang Terhormat (Pustaka Pelajar, 2000), Selingkuh Itu Indah (Galang Press, 2001), Rendezvous : Kisah Cinta yang Tak Setia (Galang Press, 2004) Potongan Cerita di Kartu Pos (Penerbit Buku Kompas, 2006). Sebungkus Nasi dari Tuhan, Sepasang Mata Penari Telanjang, Matinya Toekang Kritik (Lamalera, 2006) dan terakhir Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang, 2010).
Beberapa kali meraih penghargaan sastra, diantaranya, tahun 1991, memenangkan juara I penulisan cerpen pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS) I dan mendapat penghargaan sebagai cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) IV tahun 1992. Sementara pada tahun 1999, tiga cerpennya, Keluarga Bahagia, Dzikir Sebutir Peluru dan Tak Ada Mawar di Jalan Raya mendapat Anugerah Cerpen Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta.
Penghargaan lain yang pernah ia raih yaitu karya cerpennya yang berjudul Pemburu oleh majalah sastra Horison, dinyatakan sebagai salah satu karya terbaik yang pernah terbit di majalah itu selama kurun waktu 1990-2000. Dan cerpen Piknik mendapat Anugerah Kebudayaan 2006 Departemen Seni dan Budaya .
Cerpenis yang pernah dimasukkan oleh Korie Layun Rampan sebagai sastrawan angkatan 2000 ini, kini tengah menyunting buku antologi Cerpen-cerpen Terbaik Indonesia, yang merangkum tentang penerbitan cerpen dari Idrus hingga Seno Gumira Ajidarma.







 

4 komentar:

  1. sangat membantu saya dalam menganalisis intrinsik cerpen secara lebih detail lagi.
    Terima kasih.😊

    BalasHapus
  2. Gambling addiction is not a casino, but a gambling addict
    Many are 강릉 출장안마 in an addiction to gambling, gambling on a scale 춘천 출장샵 that does not involve gambling 김포 출장샵 itself. 태백 출장안마 Even if you're an addict, 김천 출장안마

    BalasHapus