Kamis, 13 November 2014

TEKS, KOTEKS, KONTEKS, DAN HUBUNGAN KETIGANYA DALAM KAJIAN WACANA



PENGERTIAN TEKS, KO-TEKS, KONTEKS, DAN HUBUNGAN
KETIGANYA DALAM KAJIAN WACANA

Oleh:
Fitra Youpika
Fiernando Seftiawan


A.    PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu linguistik begitu pesat. Hal ini dimulai dengan berkembangnya tata bahasa yang berpusat pada kalimat dan jenis kata kemudian akhirnya pada kajian wacana. Penggunaan wacana bukan hanya pada cakupan ujaran, tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah. Melalui wacana manusia dapat saling menyapa, menegur, meminta, memohon, menyetujui, menyepakati, bertanya, meminta keterangan, meyakinkan, mengeritik mengomentari, dan lain sebagainya. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang menenliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan terhadap para pengguna sebagai suatu elemen masyrakat.
Kajian wacana memiliki unsur pendukung yang sangat kompleks. Unsur tersebut terdiri atas unsur verbal (linguistik) dan unsur nonverbal (nonlinguistik). Struktur linguistik wacana merupakan satuan lingual tertinggi dalam hirarki kebahasaan. Sementara itu, unsur nonlinguistik yang melingkupinya mengandung pengetahuan dan informasi tak terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa kajian secara struktural wacana adalah aspek kajian yang sangat luas, artinya kebahasaan yang lebih besar dari pada kalimat dan klausa dan mempunyai hubungan antara unit kebahasaan yang satu dengan yang lain. Atau dengan kata lain, kajian wacana merupakan satuan bahasa yang kompleks dalam hirarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk wacana yang utuh.
Adapun unsur-unsur yang terkait dengan kajian wacana ini di antaranya, yaitu teks, ko-teks, dan konteks. Dalam makalah ini akan dibahas mengenani pengertian dan hubungan antara ketiganya.

B.     PENGERTIAN TEKS, KO-TEKS, DAN KONTEKS
a.      Teks
Ada beberapa pegertian yang dikemukakan oleh para ahli terkait dengan teks. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukan ahli tersebut secara keseluruhan hampir sama. Luxemburg (1989) yang dikutip Tedi dalam makalahnya menyatakan bahwa teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan satu kesatuan. Teks dalam hal ini tidak hanya dipandang dari sisi tata bahasa yang sifatnya tertulis atau unsur-unsur kebahasan yang dituliskan, lebih dari itu, suatu teks juga dilihat dari segi maksud dan makna yang diujarankan. Teks memiliki kesatuan dan kepaduan antara isi yang ingin disampaikan dengan bentuk ujaran, dan situasi kondisi yang ada. Dengan kata lain, bahwa teks itu berupa ungkapan berupa bahasa yang di dalamnya terdiri dari satu kesatuan antar isi, bentuk, dan situasi kondisi penggunaannya.
Kridalaksana (2011:238) dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan kalimat, kata, dan sebagainya yang membentuk ujaran, (3)  ujaran yang dihasilkan dalam interaksi manusia. Dilihat dari tiga pengertian teks yang dikemukakan dalam Kamus Linguistik tersebut dapat dikatakan bahwa teks adalah satuan bahasa yang bisa berupa bahasa tulis dan bisa juga berupa bahasa lisan yang dahasilkan dari interaksi atau komunikasi manusia.
Selain Luxemburg dan Kridalaksana di atas, Fairclough (1995:4) menyatakan bahwa;
A text is traditionally understood to be a piece of written language a whole 'work' such as a poem or a novel, or a relatively discrete part of a work such as a chapter. A rather broader conception has become common within discourse analysis, where a text may be either written or spoken discourse, so that, for example, the words used in a conversation (or their written transcription) constitute a text.

Pendapat yang dikemukakan oleh Fairclough di atas menujukkan bahwa sebuah teks itu, secara tradisional merupakan bagian dari bahasa tertulis yang secara keseluruhan 'bekerja' seperti puisi atau novel, atau bagian yang relatif diskrit pekerjaan seperti sebuah bab. Kemuadian, secara konsepsi yang agak lebih luas dan telah menjadi umum dalam analisis wacana, di mana teks mungkin baik tertulis atau lisan, seperti kata-kata yang digunakan dalam percakapan juga dapat dikatkan sebagai suatu teks.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Teks tidak hanya berbentuk deratan kalimat-kalimat secara tulis, namun juga dapat berupa ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan, bahkan ada juga teks itu terdapat di balik teks.
Terkait dengan konsep teks dalam kajian wacana berbagai macam pandangan yang dikemukakan oleh ahli. Ada ahli seringkali menggunakan istilah wacana dan teks secara bersamaan. Ada juga, yang beranggapan istilah wacana dan teks ini sama dan ada juga yang menganggap kedua istilah tersebut berbeda.
Nunan (1993:6) mengatakan “text to refer to any written record of communicative event. Discourse to refer to the interpretation of the communicative event in context”. Maksud pendapat yang dikemukakan Nunan tersebut menunjukkan bahwa teks mengacu pada bahasa yang sifatnya tertulis dari suatu pristiwa komunikasi. Wacana mengacu pada interpretasi dari suatu pristiwa komunikasi berdasarkan konteksnya. Dengan kata lain, suatu teks lebih mengacu pada bahasa tulis dan wacana merujuk pada interpretasi yang dilihat dari kaitannya dengan kontek penggunaaan bahasa dalam proses komunikasi. Ia mengemukakan “the term ‘text’ and ‘discourse’ are interchangeable”. Artinya, teks dan wacana merupakan dua hal yang dapat saling bertukar. Dengan demikian, secara definisi pemakaiannya antara teks dan wacana tidaklah berbeda (sama).
Juez (2009:6) mengatakan secara umum istilah teks digunakan terbatas pada bahasa tulis dan wacana terbatas pada bahasa lisan. Ia mengatakan bahwa dalam linguistik modern telah mengenal konsep teks yang berbeda, yaitu memasukkan setiap jenis ujaran ke dalam teks. Sebuah teks bisa berupa sebuah artikel majalah, wawancara di TV dan lain sebagainya. Dengan demikian, teks tidak hanya sekedar sebuah naskah tertulis yang berisi materi dan informasi tertentu. Setiap jenis ujaran yang dituangkan melalui media tulis dapat pula dikatakan sebuah teks, sehingga untuk memahami sebuah teks juga dibutuhkan peran wacana. Berdasarkan hal tersebut, maka teks dan wacana sama-sama memiliki peran penting dalam bahasa tulis maupun lisan.
Berbeda dengan Stubbs (1983:9) yang mengatakan teks dan wacana merupakan dua hal yang berbeda. Teks merupakan tuturan yang monolog non-interaktif, sedangkan wacana adalah tuturan yang bersifat interaktif. Dalam konteks ini, teks dapat samakan dengan naskah, misalnya naskah-naskah materi kuliah, pidato, dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara teks dan wacana itu terletak pada jalur atau segi pemakaiannya saja. Berdasar hal ini, Mulyana (2005:9) mengatakan ada dua tradisi pemahaman di bidang linguistik, yaitu analisis linguistik teks dan analisis wacana. Analisis linguistik teks objek kajiannya berupa bentuk bahasa formal yang berupa kosa kata dan kalimat, sedangkan analisis wacana terkait dengan analis konteks terjadinya suatu tuturan itu.  
Kemudian, Edmondson (dalam Sumarlam dkk, 2003:5) juga membedakan anatara teks dan wacana. Ia mengatakan “a text is structured sequences of linguistic expressions forming a unitary whole”. Teks merupakan suatu rangkaian ungkapan bahasa yang tersetruktur membentuk satu kesatuan. Sementara itu, pada wacana dikatakan bahwa “a discourse is structured event manifest to linguistic (and other) behaviour”. Wacana adalah suatu peristiwa terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku bahasa atau yang lainnya. Batasan teks dan wacana tersebut mengisyaratkan bahwa danya penekanan pada sifat keteraturan peristiwa ang dinyatakan dengan bahasa pada wacana. Perbedaan pokok antara keduanya adalah teks merupakan suatu peristiwa yang terstruktur yang dituangkan atau diungkapkan melalui bahasa. 
Jadi, berdasarkan adanya pandangan yang menganggap antara wacana dan teks merupakan dua hal yang sama dan ada juga yang menganggap berbeda, hal itu disebabkan oleh adanya sudut pandang yang berbeda. Situasi ini sangat bergantung dengan realisasi penggunaan bahasa. Ada ahli yang melihat dari unsur linguistik dan ada juga yang melihatnya dari unsur non-linguistik seperti konteks dan ada pula yang memandang dari aspek strukturnya. Sebuah wacana, misalnya suatu percakapan jika dikaji prosesnya, maka wacana merupakan proses komunikasi antara pembicara dengan mitra tutur yang menghasilkan interpretasi. Tetapi, jika dipandang dari segi produk maka wacana itu dapat berupa teks sebagai produk bahasa yang menghasilkan makna, sehingga wacana itu dibedakan dengan teks.
Kemudian, jika sebuah wacana misalnya percakapan dapat dipandang sebagai teks jika dilihat dalam hubungan kebahasaan antar tuturan. Selain itu, juga berpedoman bahwa secara hierarki gramatikal wacana merupakan satuan bahasa tertinggi yang lebih tinggi dari kalimat atau klausa. Kalau mengacu dari pandangan ini wacana dapat disamakan dengan teks. Teks merupakan data dalam analisis wacana, baik teks yang lisan maupun tulis. Teks dalam hal ini mengacu pada bentuk transkripsi rangkaian suatu kaliamat atau ujaran.

b.      Ko-teks
Dilihat berdasarkan makna dalam Kamus Linguistik (2011:137), koteks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mendahului dan/atau mengikuti sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks yang didampingi itu bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks yang mendampingi (mengiringi). Sebagai contoh pada kalimat “Selamat Datang” dan “Selamat Jalan” yang terdapat di pintu masuk suatu kota, daerah, atau perkampungan.
Kedua kalimat di atas memiliki keterkaitan. Kalimat “Selamat Jalan” merupakan ungkapan dari adanya kalimat sebelumnya, yaitu “Selamat Datang”. Kalimat “Selamat Datang” dapat dimaknai secara utuh ketika adanya kalimat sesudahnya, yaitu “Selamat Jalan”, begitu juga sebaliknya.
Keberadaan koteks dalam suatu wacana menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Ko-teks dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana. Dalam wacana yang cukup panjang sering sebuah kalimat harus dicarikan informasi yang jelas pada bagian kata yang lainnya. Perhatikan contoh berikut ini.
Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Tidak hanya itu, dia juga seorang pengusaha dan mantan seorang dosen di salah satu PT ternama. Selain itu, beliau juga dikenal sangat baik oleh masyarakatnya.

Kata dia, beliau dan –nya yang terdapat pada kalimat kedua dan ketiga di atas mengacu kepada Markusen pada kaliamt pertama. Tafsiran itu didasarkan pada kalimat yang menyatakan bahwa Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Jadi, Markusen pada kalimat itu menjadi koteks bagi dia, beliau dan -nya.

c.       Konteks
Para ahli bahasa dahulunya menganalisis kalimat tanpa memperhatikan konteksnya. Makna sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar bila kita mengetahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, bagaimana mengucapkannya, dan lain-lain. Oleh sebab itulah, perlu menganalisis kalimat-kalimat terlebih dahulu dengan menganalisis konteksnya.
Kleden (dalam Sudaryat, 2009:141) mengatakan konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang dihadapi seseorang atau kelompok orang. Halliday (1994:6) mengemukakan bahwa konteks adalah teks yang menyertai teks. Artinya konteks itu hadir menyertai teks. Kemudian, Kridalaksana (2011:134) mengartikan konteks adalah (1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran tertentu, (2) pengetahuan yang sama-sama memiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara.
Menurut Brown & Yule (1983) konteks adalah lingkungan atau keadaan tempat bahasa digunakan. Halliday & Hasan (1994) mengatakan hafiah konteks berarti “something accompanying text”, yaitu sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks, sehingga dapat diartikan konteks sebagai situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Kemudian, menurut Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Seperti terpola dari bagan berikut.

Proses Peristiwa Bertutur
                        Pembicara (O1)                                                Pasangan Bicara (O2)

                        Maksud (pra ucap)                              pemahaman (pascaucap)

                        Pensandian (encoding)                                    pembacaan sandi (decoding)
 

                        Pengucapan (fonasi)                            penyimakan (audisi)
                                                           
KONTEKS                              
                          Sumber: Mulyana, (2005:21)

Pada hakikarnya, wacana adalah wujud nyata komunikasi verbal manusia. Oleh karena itu, wacana selalu mengandaikan adanya orang pertama (O1) atau biasa disebut pembicara, penulis, penyapa, atau penutur (addressor), dan orang kedua (O2) sebagai pasangan bicara atau pendengar, pembaca, penutur (addresse). Keterpahaman terhadap tuturan  antara O1 dan O2, sebagaimana terlihat dalam bagan di atas, sangat tergantung pada bagaimana kedua pembicara memahami tuturan yang bersifat kontekstual.
Salah satu unsur konteks yang cukup penting ialah waktu dan tempat. Contohnya: “Waktu pukul enam sore, desa Tirtomoyo sudah tampak sunyi seperti kuburan. Terpaksa aku menutup pintu rumah. Masuk dan tiduran. Aku terbangun jam tiga pagi. Tidak dikira ternyata di jalan sudah banyak orang lalu lalang.” Contoh tersebut memberi informasi tentang ‘keadaan suatu desa berdasarkan konteks tempat dan waktu’.  Pemahaman tentang keadaan dan keramaian desa umumnya berbeda dengan kondisi diperkotaan. Informasi tersebut bahkan bisa bermakna sebaliknya. Jam 18.00 petang di desa, terutama di daerah pelosok, barangkali sudah dianggap malam (indikasinya sudah gelap, karena belum ada penerangan listrik, dan sebagainya.) sementara di kota, konteks waktu seperti itu masih dianggap sore. Sebaliknta jam 03.00 pagi buta, di desa sudah dianggap pagi-kerja, sementara di kota, bahkan masih sangat malam. Penafsiran itu semata-mata berdasarkan pada kondisi dan kebiasaan saja. Bila hal itu dikaitkan dengan kesibukan kerja, misalnya di terminal, di pasar, di diskotik, atau di tempat-tempat lain, tentu pemahaman tentang makna dan informasinya juga akan mengalami perubahan.
Konteks yang berkaitan dengan partisipan (penutur) juga sangat berperan dalam memahami makna dan informasi tuturan. Misalnya muncul tuturan berikut ini. “Saya ingin turun. Sudah capek.” Kalau yang mengucapkan tuturan itu adalah seorang pejabat atau politisi, maka sangat mungkin yang dimaksud dengan turun adalah ‘turun dari jabatan’. Namun, pengertian itu bisa keliru bila tuturan itu, misalnya, diucapkan oleh anak kecil yang sedang memanjat pohon. Maknanya bisa berubah drastis, yaitu ‘turun dari pohon’. Singkat kata, untuk mendapatkan pemahaman wacana yang menyeluruh, konteks harus dipahami dan dianalisi secara mutlak.
Contohnya lain seperti dialog di bawah ini.
Dialog I
Pembicara        : Ibu
Pendengar        : Bapak
Tempat                        : Rumah
Situasi              : Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
                          karena mengambil sesuatu yang dipinjam
Waktu              : Pukul 09.00 Wib.
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang.”

Dialog II 
Pembicara        : Ibu
Pendengar        : Bapak
Tempat                        : Rumah
Situasi              : Menunggu anaknya yang belum kembali dari
  rumah temannya
Waktu              : Pukul 00.00 Wib
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang”.

Kalimat “Cepat sekali kamu pulang” yang diucapkan si ibu pada dialog I dan II memiliki bentuk yang sama, tetapi maknanya berbeda. Kalimat pada dialog I, si ibu sungguh-sungguh mengatakan bahwa anaknya sangat cepat kembali dari rumah paman atau dapat dikatakan si Ibu memuji anaknya yang melaksanakan perintah/kerja dengan cepat. Berbeda dengan dialog II, kalimat itu memiliki makna sindiran pada anaknya yang terlambat pulang ke rumah. Kata “Cepat sekali kamu pulang” pada kalimat dialog II bukan makna sebenarnya yang menyakan si anak pulang dengan cepat, malah sebaliknya, yaitu pulangnya lambat.
Hal ini harus diterangkan secara pragmatik karena kata-kata maupun kalimatnya secara semantik tidak memperlihatkan arti sindiran. Dengan begitu, pendengar atau pembaca harus mengetahui konteks kalimat tersebut agar dapat mengetahui maksut suatu kaliamt itu dengan tepat. Begitu pentingnya mengetahui konteks sebuah kalimat atau wacana karena hal itu dapat menimbulkan perbedaan antara dua kalimat yang sama seperti yang ada dalam contoh di atas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan konteks mengakibatkan perbedaan makna.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konteks adalah ruang dan waktu yang meliputi lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam memahami suatu teks. Teks yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya teks-teks yang dilisankan dan yang ditulis, melainkan termasuk pula kejadian-kejadian yang nirkata (nonverbal) lainnya atau keseluruhan lingkungan teks itu. Selain itu, konteks juga dianggap sebagai penyebab terjadinya suatu pembicaraan atau interaksi komunikasi.

d.      Macam-Macam Konteks
1.      Konteks Situasi
Semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Ciri-ciri ‘tekstual’ memungkinkan wacana menjadi padu bukan hanya antara unsur-unsurnya dalam wacana itu sendiri tetapi juga dengan konteks situasinya. Halliday & Hasan (1994) mengatakan yang dimaksud dengan konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Atau dengan kata lain, kontek situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Dalam pandangan Halliday (1994: 16), konteks situasi terdiri dari (1) medan wacana, (2) pelibat wacana, dan (3) modus/sarana wacana. Medan wacana merujuk pada aktivitas sosial yang sedang terjadi atau apa yang sesungguhnya disibukkan oleh para pelibat. Pelibat wacana merujuk pada orang-orang yang mengambil bagian, sifat para pelibat, kedudukan dan peran mereka, jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat. Sarana wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan.
Hymes dalam Brown & Yule (1983: 38-39) memberi penjelasan lebih rinci mengenai ciri-ciri konteks yang relevan dalam konteks situasi, yaitu:
a)      Pembicara/Penulis (Addressor)
Pembiacara atau penulis adalah seseorang yang memproduksi/menghasilkan suatu ucapakan. Mengetahui si pembicara pada suatu situasi akan memudahkan untuk menginterpretasi pembicaraanya. Umpanya saja seseorang mengatakan ‘operasi harus dilakukan’. Kalau kita ketahui si pembicara adalah dokter, tentu kita akan paham yang dimaksud dengan ‘operasi’ adalah operasi terhadap manusia atau hewan. Tetapi jika yang berbicara adalah ahli ekonomi, kita kan paham bahwa yang dimaksud dengan operasi adalah mendistrubusikan beras ke pasar dari pemerintah untuk menyetabilkan harga. Beda pula ketika mengatakan adalah pencuri, perampok, dan polisi. Jadi, jelas sekali bagaimana pentingnya mengetahui si pembicara demi menafsikan pembicaraannya. Kalau tidak diketahui siapa pembicaranya, maka akan sulitlah untuk memahami kata-kata yang diucapkan atau dituliskan.
b)      Pendengar/pembaca (Addresse)
Pendengar/pembaca adalah seseorang yang menjadi mitra tutur/baca dalam suatu berkomunikasi atau dapat dikatakan seseorang yang menjadi penerima (recepient) ujaran.. Kepentingan mengetahui si pembicara sama pentingnya dengan mengetahui si pendengar, terhadap siapa ujaran tersebut ditujukan akan memerjelas ujaran itu. Berbeda penerima ujaran, akan berbeda pulalah tafsiran terhadap apa yang didengarnya.


c)      Topik pembicaraan (Topic)
Dengan mengetahui topik pembicaraan, akan mudah bagi seseorang pendengar/pembaca untuk memahami pembicaraan atau tulisan.
d)     Saluran (Channel)
Selain partisipan dan topic pembicaraan, saluran juga snagat penting di dalam menginterpretasikan makna ujaran. Saluran yang dimaksud dapat secara lisan atau tulisan.
e)      Kode (Code)
Kode yang dimaksud adalah bahasa, dialek atau gaya bahasa seperti apa yang digunakan di dalam berkomunikasi. Misalnya, jika saluran yang digunakan bahasa lisan, maka kode yang dapat dipilih adalah dialek bahasa. Seseorang yang mengungkaplamn isi hatinya dengan bahasa daerah kepada temannya akan meresa lebih bebas, akrab, dan lain sebagainya dibandingkan dengan mengguankan Bahasa Indonesia.
f)       Bentuk Pesan (Message Form)
Pesan yang disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan ini bersifat penting. Menyampaikan tentang ilmu pasti misalnya, dengan rumus-rumus tertentu, pastilah berbeda dengan menyampaikan ilmu sejarah atau ilmu bahasa. Bentuk penyampaian pesan juga dapat beragam. Seperti lewat khotbah, drama, puisi, surat-surat cinta, dan lainnya.
g)      Peristiwa (Event)
Peristiwa tutur tentu sangat beragam. Hal ini ditentukan oleh tujuan pembicaraan itu sendiri. Peristiwa tutur seperti wawancara atau dipengadilan akan berbeda dengan peristiwa tutur di pasar.
h)      Tempat dan waktu (Setting)
Keberadaan tempat, waktu, dan hubungan antara keduanya, dalam suatu peristiwa komunikasi dapat memerikan makna tertentu. Di mana suatu tuturan itu berlangsung; di pasar, di kantot, dan lainna. Demikian juga, kapan suatu tuturan itu berlangsung; pagi hari, siang hari, suasana santai, resmi, tegang, dan lainnya.
Dell Hymes dalam Moeliono (2005: 23-24) merumuskan ihwal faktor-faktor penentu dalam peristiwa tutur dalam konteks situasi yang tidak jauh berbeda dengan penjelasan sebelumnya, melalui akronim SPEAKING. Tiap-tiap fonem mewakili faktor penentu yang dimaksudkan.
S       : Setting and scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai tuturan.
P       : Participants, peserta tuturan, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan, seperti usia, pendidikan, latar social, dsb juga menjadi perhatian.
E       : Ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes), dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri (ends in view goals).
A       : Act sequence, pesan/amanat, terdiri dari bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content).
K       : Key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam percakapan. Semangat percakapan, misalnya: serius, santai, akrab, dsb.
I        : Instrumentalities atau sarana, yaitu sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa percakapan tersebut disampaikan. Misalnya: dengan cara lisan, tertulis, surat, radio, dsb.
N       : Norms, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan. Misalnya, apa yang boleh dibicarakan dan tidak, bagaimana cara membicarakannya: halus, kasar, terbuka, dsb.
G       : Genres atau jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana yang disampaikan. Misalnya: telepon, koran, puisi, ceramah, dsb.

2.      Konteks Pengetahuan
Schiffirin (2007: 549) mengatakan bahwa teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks dalam istilah pengetahuan, yaitu apa yang mungkin bisa diketahui oleh antara si pembicara dengan mitra tutur dan bagaimana pengetahuan tersebut membimbing/menunjukkan penggunaan bahasa dan interpretasi tuturannya. Artinya ketika pembicara dan mitra tutur memiliki kesamaan pengetahuan akan apa yang dibicarakan atau dapat juga disebut common ground, maka kesalahpahaman atau ketidaktepatan interpretasi tidak akan terjadi.
Imam Syafi’e (1990: 126) menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam, yaitu:
1)      Konteks linguistik, yaitu kalimat-kalimat di dalam percakapan.
2)      Konteks epistemis, adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan.
3)      Konteks fisik, meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan di dalam percakapan dan tindakan para partisipan.
4)      Konteks sosial, yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.
Keempat konteks tersebut memengaruhi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, ciri-ciri konteks harus diidentifikasikan secara cermat, sehingga isi pesan dalam peristiwa komunikasi dapat dipahami dengan benar. Pertama, memertimbangkan pentingnya pemahaman tentang konteks linguistik. Karena dengan itu kita dapat memahami dasar suatu tuturan dalam komunikasi. Tanpa mengetahui struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat tertentu, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Namun pengetahuan tentang struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat saja, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Kemampuan tersebut harus dilengkapi dengan pengetahuan konteks fisiknya, yaitu dimana komunikasi itu terjadi dan apa objek yang dibicarakan. Kemudian, ditambah dengan pengetahuan kontek sosial, yaitu bagaimana hubungan pembicara dengan pendengar dalam lingkungan sosialnya. Terakhir harus memahami hubungan epistemiknya, yaitu pemahaman atau pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh pendengar dan pembicara.
Oleh karena itu, uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memerikan bantuan untuk menafsirkan suatu wacana. Kesimpulannya, secara singkat dapat dikatakan: in language, context is everything. Dalam berbahasa (berkomunikasi) konteks adalah segalanya.


C.    HUBUNGAN ANTARA TEKS, KO-TEKS, DAN KONTEKS
 Dilihat dari hakikat teks seperti yang telah dikemukakan di atas, teks merupakan esensi wujud suatu bahasa. Sebuah teks bukan sekedar unit tata bahasa yang tampak, akan tetapi teks merupakan unit semantik memunyai satu kesatuan arti. Kemudian, koteks adalah teks yang bersifat sejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks yang satu memiliki hubungan dengan teks lainnya. Teks lain tersebut bisa berada di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi). Sedangkan konteks adalah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebagai sebab atau alasan terjadinya suatu pembicaraa/dialog/teks.
Berdasarkan ketiga definisi dari teks, koteks, dan konteks tersebut maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara teks, koteks dan konteks sangatlah erat atau selalu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya koteks dalam struktur wacana menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga wacana menjadi utuh dan lengkap. Kemudian, dengan adanya konteks, maka munculah sebuah wacana yang terdiri dari teks-teks. Hal tersebut dikarenakan makna yang terealisasi di dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahassa dengan konteksnya, sehingga konteks merupakan wahana terbentuknya teks.

Contohnya:
Ada sebuah wacana dalam bentuk tulisan yang digantungkan di lorong akhir suatu jalan kampung.
“Terima kasih.”
Wacana itu jelas-jelas merupakan wacana potongan. Makna dan interpretasi apa yang dapat diambil dari gantungan tulisan itu? Ternyata ada wacana atau teks lain  yang sebelumnya tergantung di lorong masuk jalan kampung tersebut, yaitu:
“Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.”
Wacana “Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.” Adalah peringatan bagi orang yang akan melewati lorong kampung itu. Apabila para pejalan telah menaatinya, misalnya dengan memerlambat laju kendaraannya, maka wacana “Terima kasih.” adalah suatu ucapan yang diberikan masyarakat kepada para pengguna jalan (lorong) tersebut. Inilah yang dinamakan pertalian antara teks satu dengan yang lainnya. Salah satu teks tersebut berkedudukan sebagai koteks.
Kaitannya dengan konteks, kedua teks tersebut tidak akan muncul atau digantung di lorong tersebut jika tidak ada konteks yang melatarbelakangi penduduk, mungkin orangtua atau ketua RT untuk melakukannya. Ternyata, penduduk di lingkungan lorong tersebut banyak yang memiliki anak balita (di bawah 10 tahun) yang sering lalu lalang untuk bermain tanpa memerhatikan pejalan (yang membawa kendaraan) yang melintas di lorong tersebut.

D.    Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pendapat disimpulkan bahwa teks adalah suatu kesatuan bahasa baik lisan maupun tulisan yang memiliki isi dan bentuk yang saling berkaitan. Koteks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya (teks lain). Konteks adalah ruang dan waktu yang meliputi lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam memahami suatu teks, yaitu kejadian-kejadian nonverbal atau keseluruhan lingkungan teks itu.
Dilihat dari hubungan teks, koteks, dan konteks, konsep teks dan koteks merupakan aspek dari suatu proses yang sama. Ketika ada teks yang menyertai suatu teks lain, maka teks lain itu menjadi koteks karena menyertai suatu teks. Oleh karena itulah para linguis memandang antara koteks dan konteks memiliki perbedaan. Jika koteks merupakan lingkungan kebahasaan, maka konteks adalah lingkungan di luar bahasa seperti situasi dan tempat teks itu terbentuk. Dengan demikian, suatu wacana yang dikatakan utuh apabila mengandung koteks dan konteks yang jelas agar makna dan maksud wacana tersebut dapat dipahami secara jelas oleh pendengar atau pembacanya.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Gillian dan Yule, George. (1984). Discaourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.

Fairclough, Norman. (1995). Critical Discourse Analysis. New York: Longman Group Limited.

Halliday, M.A.K. (1978). Language as Social Semiotics. London: University Park Press.

Halliday, M.A.K; Ruqaiya Hasan. (1994). Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Terjemahan Asruddin Barori Tou). Yogyakarta: UGM Press. (Buku asli tahun terbit 1985).

Juez, L.A. (2009). Perspective on Discourse Analysis: Theory and Practice. British: British Library Cataloguing.

Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Mulyana.  (2005). Kajian wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana

Nunan, David. (1993). Introducing  Discourse Analysis. London: Penguin English.

Schiffrin, D. (2007). Ancangan Kajian Wacana. (Terjemahan Unang, dkk) Yogyakarta: Pustaka Belajar. (Buku asli terbit tahun 1994).

Sudaryat, Yayat. (2009). Makna dalam Wacana Prinsip-prinsip Semantik dan Pragmatik. Bandung: CV  Yrama Widya.

Sumarlam dkk. (2003). Teori dan Prktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.

Stubbs, M. (1983). Discourse Analysis: The Siciolinguistic Analysis of Natural Language. Oxford: Basil Blackwell Publisher Limited.

Syafe’ie, I. (1988). Retorika dalam Menulis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Permadi, Tedi. (tanpa tahun). Teks, Tekstologi, dan Kritik Teks. Makalah. Diunduh 3 Nopember 2014 dari http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/197006242006041TEDI_PERMADI/Teks,_Tekstologi,_dan_Kritik_Teks.pdf

 





3 komentar:

  1. konteks banyak tergantung dari penekanan maksud kata dan situasi yang terjadi saat itu

    BalasHapus
  2. Sangat membantu. Bagaiamana saya mau membuat dftar pustakanya bisa bantu

    BalasHapus