Sabtu, 08 November 2014

Makalah Psikolinguistik (Produksi Kalimat)

MAKALAH 
PRODUKSI KALIMAT 

Oleh
 Fitra Youpika & Rizky Ismail J

 PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
PROGRAM STUDI LINGUISTIK TERAPAN
 2013 

BAGIAN I PENDAHULUAN 
Bahasa merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Tanpa adanya bahasa, maka manusia dipastikan tidak akan bisa berinteraksi atau berkomunikasi dengan baik. Dengan kata lain, bahwa bahasa itu adalah sesuatu yang telah menyatu dengan kehidupan manusia. Sebagai salah satu yang menyatu dengan kehidupan manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek dan kegiatan manusia di manapun berada. 

Betapa pentingnya bahasa, hingga tidak ada satu kegiatan manusiapun yang tidak disertai dengan kehadiran bahasa. Oleh karena itu, jika orang bertanya apakah bahasa itu, maka jawabannya dapat bermacam-macam sejalan dengan bidang kegiatan tempat bahasa itu digunakan. Bahasa adalah alat untuk menyampaikan isi pikiran, bahasa adalah alat untuk berinterakasi, bahasa adalah alat untuk mengekspresikan diri, dan bahasa adalah alat untuk menampung hasil kebudayaan, semuanya dapat diterima. 

Sesuai dengan fungsi bahasa, suatu proses berbahasa dikatakan berjalan baik apabila makna yang dikirmkan penutur dapat diresepsi oleh pendengar seperti yang dimaksudkan oleh si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan tidak berjalan dengan baik pabila makna yang dikirim penutur diresepsi atau dipahami pendengar tidak sesuai dengan yang dikehendaki penutur. 

Ketidaksesuaian ini bisa disebabkan oleh faktor penutur yang kurang pandai dalam memproduksi kalimat, bisa juga diebabkan oleh faktor pendengar yang kurang mampu merespsi kalimat itu, atau bisa juga akibat faktor lingkungan sewaktu kalimat itu ditransfer dari mulut penutur ke dalam telinga pendengar. 

Sebagaimana diketahui pada pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai proses produksi ujaran, maka pada makalah ini yang akan dibahas adalah seperti apa dan bagaimana proses produksi kalimat tersebut dan fenomena apas saja yang terjadi? Berikut ini akan kita pada poin pembahasan. 

BAGIAN II PEMBAHASAN 
Produksi Kalimat  
A. Senyapan dan Kilir Lidah Kegiatan pada waktu berujar merupakan suatu proses yang terjadi pada mental (otak) manusia. Proses mental pada waktu berujar tersebut ada dua macam yaitu, senyapan (pause) dan kekeliruan (errors).

1. Senyapan Senyapan beasal dari kata senyap yang artinya berhenti sejenak (pause) pada saat sedang berbicara atau mengucapkan sebuah kalimat. Tidak semua orang dapat berbicara dengan baik dan lancar. Orang berbicara pada umumnya sambil berpikir sehingga semakin sulit topik yang dibicarakan maka, kemungkinan besar jumlah senyapan yang terjadi. Senyapan yang lebih umum terjadi adalah pada waktu orang ragu-ragu (hesitation). Keraguan tersebut bisa terjadi karena si penutur lupa atau sedang mencari kata-kata yang paling tepat yang ingin ia ujarkan. Menurut Dardjowidjojo (2008:144) ada berbagai alasan mengapa orang senyap. Pertama, orang senyap karena dia telah terlanjur mulai dengan ujarannya, tapi sebenarnya dia belum siap untuk mengujarkan seluruh kalimat itu. Oleh karena itu, dia senyap sejenak untuk mencari kata atau kata-kata untuk melanjutkan ujarannya. Kedua, kesenyapan terjadi karena dia lupa akan kata-kata yang dia perlukan. Kemudian alasan ketiga, bahwa dia harus sangat berhati-hati di dalam memilih kata. Berdasarkan ketidaksiapan dan terlalu berhati-hati dalam berujar kesenyapan ada dua macam yaitu: senyapan diam dan senyapan terisi.
1.1 Senyapan Diam Senyapan diam adalahsenyapan ketika sedang berbicara terhenti sejenak, terdiam tampa suara apapun sehingga ujaran terputus sampai ia menemukan kata-kata yang ingin diujarkan. Contoh: Itu Bapak … yang masuk di kelas kita kemarin?
1.2 Senyapan Terisi Senyapan terisi adalah Senyapan yang diisi dengan kata-kata tertentu yang hanya pengisi kekosongan saja. Hal ini dapat memancing mengingat kembali kata yang ingin diujarkan. Contoh: Itu siapa itu (kemarin masuk ke kelas kita?). Selain kata anu banyak cara orang-orang mengisi kesenyapan atau jedah ketika berbicara dengan kata-kata lain seperti, -eh dan uh yang hanya sekedar merupakan pengisi belaka. Kesenyapan-kesenyapan seperti ini tidak hanya terjadi pada kalangan orang-orang biasa tetapi tidak jarang juga terjadi pada kalangan pejabat atau penyiar televisi dengan alasan karena keberhati-hatian dia untuk tidak menimbulkan dampak yang keliru atau menggegerkan. Senyapan-senyapan terjadi berdasarkan tempatnya. Ada pun tempat-tempat biasa terjadinya senyapan antara lain: jeda gramatikal, batas konstituen dengan konsituen lain, dan di tempat sebelum kata utama pertama pada konsituen. Jedah gramatikal adalah tempat senyapan pada saat merencanakan ujaran yang akan diujarkan selanjutnya. Senyapan di tempat ini biasanya terjadi agak sering dan lama. Tipe senyapan yang terjadi bukan karena keraguan dan biasa juga senyapan ini untuk mengambil nafas. Hal ini berbeda dengan senyapan yang terjadi pada batas antara satu konstituen dengan konstituen lainnya. Senyapan yang terjadi pada batas antara satu konstituen dengan konstituen lainnya ini pada umumnya adalah senyapan yang berisi. Sedangkan yang terjadi pada tempat senyapan sebelum kata dalam konstituen umumnya senyapan tipe diam. 

 2. Kekeliruan Kekeliruan yang terjadi pada saat berbicara atau ketika mengujarkan suatu kalimat dapat disebabkan oleh dua hal yaitu, karena kilir lidah dan terkena penyakit afasia. 

2.1 Kilir Lidah Kilir lidah adalah proses produksi suatu ujaran yang tidak sesuai dengan ujaran yang ingin diujarkan. Kilir lidah ini disebabkan oleh: seleksi yang keliru (kekeliruan seleksi) dan kekeliruan asembling. Kekeliruan seleksi adalah kilir lidah yang disebabkan oleh kekeliruan pemilihan semantik atau yang sifatnya berhubungan dengan medan semantik.Contohnya: Kamu nanti beli pensil, maksud saya, pena, ya. pensil dan pena dalam hal ini masih memiliki medan makna yaitu, alat tulis. Hal ini tidak mungkin terjadi kekeliruan seperti, Kamu nanti beli sepatu, maksud saya, pensil, ya. Karena sepatu dengan pensil bukan merupakan medan makna. Sementara, kekeliruan asembling adalah proses pengucapan kata-kata yang keliru padahal pemilihan kata-katanya sudah benar. Selain itu bisa juga karena proses pemindahan bunyi atau kata dari satu posisi ke posisi lain. Contohnya dalam bahasa Inggris: I need a gas of tank, padahal yang dimaksud adalah I need a tank of gas. Sementara dalam bahasa Indonesia “seluling bambu”/”seluring bambu” padahal yang ingin diucapkannya adalah “seruling” (Dardjowidjojo, 2008:149). 

2.2 Afasia Afasia adalah salah satu penyakit gangguan pada berbicara. Penyakit ini dikarenakn kekurangn oksigen pada otak dan pernah mengalami stroke. Sehingga orang yang terkena penyakit ini tidak bisa berbicara dengan baik. Karena masalah pada penyakit ini berhubungan erat dengan otak maka, untuk lebih jelasnya akan dibahas oleh kelompok selanjutnya pada bab IX. 

2.3 Unit-unit Kilir Lidah Secara garis besar unit-unit pada kilir lidah adalah fitur distingtif, segment fonetik, sukukata, kata, dan konstituen yang lebih besar dari kata.
 a. Kekeliruan Fitur Distingtif Kekeliruan ini terjadi apabila yang terkilir bukan suatu fonem, tetapi fitur distingtif dari fonem itu saja. Contohnya: clear blue sky → glear plue sky. Kekeliruan dari clear ke glear sebenarnya bukan penggantian fonem /k/ menjadi /g/, tetapi penggantian fitur distingtif [-vois] dengan [+vois]. Kekeliruan ini sangat jarang terjadi. Di dalam bahasa Indonesia dapat dicontohkan pada kata Paris menjadi Baris.
 b. Kekeliruan Segmen Fonetik Kekeliruan segmen fonetik merupakan kekeliruan yang paling umum, yang jumlah fiturnya lebih dari satu. Contoh: with this ring I thee wed → with this ring I thee red left hemisphere → heft lemisphere. Bunyi /r/ pada ring mempunyai titik artikulasi yang berbeda dengan /w/ pada wing, begitu juga dengan bunyi /l/ dan /h/ pada left dan hemisphere. Kekeliruan di mana bunyi yang saling mengganti ini berbeda lebih dari satu fitur distingtif dinamakan kekeliruan segmen fonetik. Dapat dikatakan bahwa kekeliruan seperti ini adalah kekeliruan di mana fonem bertukar tempat.
c. Kekeliruan Sukukata Dalam bahasa Indonesia kita sering temukan kekeliruan pada sukukata, contohnya: ke-pa-la → ke-la-pa, se-mi-nar → se-ni-mar, dst. d. Kekeliruan Kata Kekeliruan ini terjadi bila yang tertukar tempat adalah kata. Contoh: tank of gas → gas of tank, go for broke → broke for go. Kekeliruan ini kadang-kadang berlalu tanpa pembicara menyadarinya. 

B. Lupa-lupa Ingat dan Latah Lupa-lupa ingat merupakan kebiasaan di mana seseorang itu dahulunya ingat (pernah ingat) terhadap apa yang ingin ia katakan namun ketika ia ingin mengucapkannya ia lupa, sehingga terjadilah antara lupa dan ingat. Kebiasaan ini sering terjadi ketika kita mengingat nama orang. Salah satu contoh, mungkin kita sedang di bus lalu kenalan dengan orang di sebelah kita, suatu saat kita bertemu lagi di suatu tempat. Kita tahu wajahnya namun kita bertanya-tanya dengan diri kita siapa ya namanya?, antara ingat dan lupa. Inilah yang merupakan contoh lupa-lupa ingat. Lupa-lupa ingat berbeda lagi dengan latah. Latah merupakan kebiasaan yang unik yaitu, mengucapkan kata secara spontan tanpa ia sadari ketika terkejut. Menurut Dardjowidjojo (2008:154) latah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. konon latah hanya terjadi di asia tenggara 2. hampir yang mengalami adalah wanita 3. kata-kata yang dikeluarkan umumnya berhubungan dengan seks atau kelamin laki-laki 4. kalau dikejutkan dengan kata, maka ia juga bisa hanya mengulang kata-kata itu saja. Proses latah ini, kalau si A yang latah dikejutkan dengan kata-kata maka, yang ia ucapkan adalah kata yang sama misalnya, dikejutkan dengan menyebutkan kata bakso maka , si latah pun akan mengucapkan kata bakso juga. Akan tetapi, apabila si latah dikejutkan dengan bunyi suatu benda maka, ia akan mengeluarkan kata-kata yang berhubungan dengan seks atau kelamin laki-laki atau kelamin binatang jantan. Hal inilah yang membuat latah menjadi pristiwa wicara yang unik, namun belum dapat dijelaskan mengapa demikian karena belum ada yang menelitinya lebih jauh. 

 C. Proses Pengujaran Berujar pada dasarnya merupakan salah satu proses kognitif paling kompleks yang dilakukan oleh manusia. Dalam Bahasa Inggris, kecepatan ujaran yang normal terdiri dari sekitar 150 kata per-menit. Yang berarti bahwa seorang penutur dapat meretrif dua sampai tiga kata per detik dari sekitar 30.000 perbendaharaan kata harian yang dimilikinya untuk berujar. Yang lebih menakjubkan lagi adalah bahwa seorang penutur mampu berujar secara berkelanjutan dengan tingkat keakuratan yang luar biasa, mengingat besarnya jumlah rata-rata kosa kata yang dimilikinya (Field 2004: 283). Proses mental yang rinci ini kadang terjadi dalam kendali bawah sadar kita, sehingga pada saat kita bertutur, dalam komunikasi sehari-hari, seolah-olah tanpa harus berfikir. Namun pada dasarnya dibalik kalimat-kalimat yang diujarkan oleh seorang penutur ada proses mental luarbiasa terjadi sebelumnya. Pada bagian ini, kami mencoba untuk menggambarkan urutan hierarkis yang terjadi dalam proses pengujaran kalimat, dari tahap konseptualisasi sampai pada tahap perwujudan konsep dalam pelaksanaan ujaran (artikulasi kalimat).

Umumnya, para ahli sepakat bahwa proses produksi kalimat terdiri dari tiga tahap umum yaitu tahap konseptualisasi – menentukan pesan apa yang akan disampaikan, formulasi – menentukan bagaimana cara penyampaian pesan yang telah ditentukan kedalam bentuk-bentuk linguistik, dan terakhir tahap artikulasi. Tahap pelaksanaan penyampaian pesan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Levelt dalam Harley (2001: 374). Proses konseptualisasi sampai formulasi terjadi secara berurutan di dalam mental kita lalu kemudian hasil dari proses mental ini siap untuk deskripsikan menjadi ujaran dalam bentuk bunyi yang dapat dimengerti oleh interlokutor (lawan bicara).

Tahap konseptualisasi, penutur membentuk konsep dan menentukan pesan apa yang ingin disampaikan kemudian memilah informasi yang relevan dalam memorinya untuk disiapkan menjadi susunan ujaran yang dimaksudkan. Pada tahap ini penutur juga mempertimbangkan batasan situasional dimana ujaran yang terncanakan dapat diungkapkan pada situasi yang sepatutnya (Griffin dan Ferreira 2006: 22).

 Langkah selanjutnya yaitu tahap formulasi. Tahap ini terbagi menjadi beberapa sub tahapan, pertama yaitu tahap pemilihan kata yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan (lexicalization). Menentukan kata yang ingin digunakan dalam suatu ujaran melibatkan pertimbangan kesesuaian kata dengan faktor makna semantik dan pragmatik. Kata yang dianggap dapat mewakili pesan inilah yang disebut dengan lemma. Selanjutnya proses perencanaan bunyi yang sesuai dengan kata yang telah dipilih. Pada proses ini terjadi penyusunan bentuk-bentuk fonologis dari tiap kata yang telah terpilih dengan memilahnya dalam bentuk bunyi yang bermakna. Selain itu tahap ini juga melibatkan perincian sintaksis. Kata yang telah terpilih kemudian diletakkan secara hierarkis pada posisinya masing-masing dalam bentuk kalimat sesuai dengan aturan sintaksis yang berlaku. Meskipun demikian beberapa pendapat menyatakan bahwa perhatian pada bentuk sintaksis dari sebuah kalimat yang akan diujarkan tidak selamanya kita butuhkan dalam usaha kita untuk menyampaikan pesan yang telah direncanakan pada tahap konseptualisasi sebelumnya (Harley 2001: 374).

 Tahap yang terakhir adalah tahap artikulasi, yaitu proses pelafalan kata-kata yang telah taerkonsep oleh perangkat motorik artikulasi. Pada tahap ini terjadi penerjemahan informasi-informasi fonologis kedalam bentuk suara. Otot-otot artikulasi diperintahkan untuk bergerak sesuai dengan spesifikasi suara yang diharapkan. Selain itu, suara yang terbentuk selayaknya terwujud dalam urutan yang tepat. Sehingga gerakan alat artikulator serta urutan bunyi yang tepat kemudian membentuk suara yang bermakna sesuai dengan yang dimaksudkan sebelumnya dalam proses konseptualisasi dan formulasi. Tahapan proses produksi ujaran secara singkat dapat dilihat pada bagan berikut ini:

CONSEPTUALIZATION (MESSAGE LEVEL OF PRESENTATION) 
· Involves determining what to say 
· Speaker conceives an intention 
· Speaker select a relevant information 
· The product is a preverbal message 

FORMULATION 
· Involves translating the conceptual representation into linguistic form 
· Includes the process of lexicalization 
· Includes the process of syntactic planning 
· Involves detailed phonetic and articulatory planning 
· Includes the process of phonological encoding 

ARTICULATION · 
· Involves retrieval of chunks of internal speech 
· Involves motor execution 

Levelt’s speech production process (Harley 2001: 375) 

 Salah satu pendekatan terhadap tahapan produksi ujaran ialah yang diajukan oleh Willem Levelt, yang kemudian diadaptasi menjadi model matematis yang disebut dengan WEAVER++ (Taxler 2012: 39). Menurut model ini, hal penting yang harus kita garis bawahi dalam pengujaran kalimat adalah bahwa pada saat kita menyusun satu ide yang akan kita ungkapkan dalam ujaran kita, tidak secara otomatis langsung sampai kepada produksi ujaran yang terwujud dalam suara. Ada serangkaian tahap yang kita lalui mulai dari tahap konsepsi ide hingga proses artikulasi kalimat dalam rangka menyampaikan ide kita. WEAVER++ mengambarkan tahapan-tahapan ini secara sistematis. Tahapan ini terjadi secara berurutan dan simultan dimama tiap tahapan akan menghasilkan satu produk yang akan mengaktifkan tahapan beriktunya.

 Dalam model ini, produksi kalimat dimulai dari penyusunan ide yang akan disampaikan oleh seorang penutur. Kemudian ide ini dihubungkan dengan konsep leksikal yang kita punya dalam memori kita. Suatu bahasa bisa saja memiliki kata-kata spesifik untuk menggambarkan satu konsep, namun terkadang juga ada satu konsep yang mengharuskan kita untuk menggambungkan dua konsep atau lebih agar dapat menggambarkan konsep yang dimaksud dengan lebih tepat. Oleh karena itu kita akan melewati tahap ini sebelum kita masuk ke dalam tahapan selanjutnya yaitu pemilihan kata (lexical selection). Setelah memilah kata-kata dalam kamus mental kita yang dianggap tepat untuk mewakili konsep kita kemudian lemma terbentuk. Lemma adalah konsep kata terpilih yang dianggap mampu mewakili pesan yang ingin kita sampaikan. Lemma kemudian di proses pada tahap enkode morphologi, dalam proses ini terjadi penyusunan bentuk kata yang sesuai dengan yang dimaksudkan oleh konsep, termasuk penyusunan bagaimana bentuk kata dalam kalimat dan bagaimana kata-kata ini dirangkaikan dalam satu kalimat serta urutannya. Proses ini kemudian menghasilkan morpheme, bentuk kata yang telah terseleksi. Selanjutnya kita mulai merancang bagaimana kata-kata ini akan diformulasikan kedalam bentuk suara yang tersusun sesuai dengan urutannya.

 Proses perencanaan bunyi dimulai di enkode fonologi. Proses ini mengaktifkan organisasi susunan fonem kedalam potongan suku kata secara berurutan. Hasil dari proses ini adalah susunan perncanaan bunyi kata yang terdiri dari urutan suku kata. Urutan perencanaan bunyi ini kemudian digunakan di dalam enkode fonetik untuk kemudian dicocokkan dengan bunyi yang sesuai. Serangkaian suku kata ini secara lebih spesifik dicocokkan dengan bunyi yang tersedia dalam memori kita, kemudian masing-masin ditempatkan pada posisi yang seharusnya. Hasil dari proses ini kemudian jadi pedoman bagi proses perwujudan fonetik kedalam suara oleh sistem motorik. Yang pada akhirnya sistem motorik ini menginstruksikan kepada otot-otot yang terlibat dalam alat artikultor unutk mulai melakukan tugasnya untuk mengartikulasikan kata-kata yang telah diformulasikan kedalam bentuk ujaran yang nyata. Selain itu, berdasarkan analisis kesalahan berbahasa, Garret (Harley 2001: 378) berpendapat bahwa kita memproduksi ujaran melalui serangkaian tahapan proses yang terpisah. Pada model yang diajukan olehnya, proses pembentukan sebuah ujaran terjadi secara berurutan, dimana setiap tahap hanya ada satu proses yang terjadi. Model ini memberi perhatian pada perencanaan sintaksis (susnan kalimat) yang terjadi pada tahap formulasi ujaran. Pada model ini formulasi ujaran melibatkan dua tahap proses yang penting, level fungsional dan level posisional. Pada level fungsional, tatanan kalimat belum terwujud secara jelas, melainkan ditekankan pada kandungan makna semantik dalam setiap kata yang terpilih yang kemudian akan diposisikan pada susunan sintaksis seperti subjek atau objek. Sedangkan pada level posisional, kata-kata telah tersusun dengan jelas dalam bentuk susunan sintaksis. Conceptualization Message level Functional level Formulation Positional level Sound level Articulation Articulatory instructions Garret’s model of speech production (Harley 2001: 378) 

D. Artikulasi Kalimat Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana langkah-langkah yang kita lakukan setelah formulasi ujaran selesai terbentuk dalam benak kita, proses apa saja yang terjadi pada saat suara mulai terproduksi oleh sistem artikulasi kita. Pada bagian ini kami akan menggambarkan bagaimana kita memproduksi ujaran kedalam bentuk suara melalui eksekusi sistem motorik pada alat artikulasi kita. Sehingga dapat kita pahami bagaimana urutan proses yang terjadi pada saat kita mengeksekusi kata-kata yang telah tersusun menjadi ujaran dalam bentuk suara yang bermakna. 

Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, bahwa proses pengungkapkan sebuah ujaran dimulai oleh proses mental dalam otak kita bukan dimulai oleh sistem pernafasan kita. Oleh karena itu, proses pengujaran kalimat erat kaitannya dengan kinerja otak kita, semakin baik kinerja otak kita dalam mengkoordinasi kalimat yang akan diujarkan, semakin baik kalimat yang terproduksi. Kalimat yang telah selesai terformulasi pada tahap sebelumnya, kemudian siap untuk diujarkan, kita membutuhkan serangkaian bunyi yang dapat mewakili formulasi kalimat ini. Oleh sebab itu, kita membutuhkan sistem yang memberikan perintah kepada alat articulator agar mengeksekusi formulasi kalimat ini kedalam bentuk ujaran. Sistem yang berperan pada proses ini adalah sistem yang terletak pada otak kita tepatnya pada daerah Broca. Sistem ini mengirimkan pesan kepada sistem korteks motorik untuk mulai melakukan pekerjaannya membentuk pola gerakan tertentu agar menghasilkan bunyi yang diinginkan. Korteks motorik ialah jaaringan yang bertanggung jawab dalam pengendalian sistem artikulasi kita termasuk lidah, rahang, gigi, pita suara dan alat artikulasi lainnya (Dardjowidjojo 2008: 157). 

Instruksi yang diberikan oleh sistem dalam daerah Broca ini diberikan secara berurutan sebab jarak antara otak dengan rangkaian alat-alat artikulasi berbeda. Instruksi pertama didapatkan oleh pita suara kita untuk menjaga ketepatan segmen fonetik kata yang akan kita ujarkan dengan iringan getaran suara (voice atau voiceless). Instruksi ini diberikan sebelum suara dilafalkan. Setelah perintah ini diterima oleh pita suara kita (bergetar atau tidak) alat-alat articulator lainnya – lidah, rahang, bibir, gusi, rongga mulut, dan lainnya – bersiap dan mulai digerakkan untuk membentuk pola yang menghasilkan suara tertentu sesuai kebutuhan berdasarkan kata yang ingin kita ucapkan (sesuai dengan phonological planning yang telah tersusun sebelumnya). Proses terjadi secara berurutan terusmenerus seiring kita mengucapkan kata-kata dalam ujaran kita dalam kecepatan yang tinggi. Sehingga kita dalam berujar akan terasa normal seolah-olah tidak ada proses bertahap yang kita lakukan sebelum ujuaran terucap dalam bentuk suara. Karena adanya keragaman susunan phonetic dalam setiap kata, maka proses artikulasi untuk menghasilkan bunyi disesuaikan dengan keadaan alat artikulator kita seiring rangkaian bunyi yang diproduksi pada tiap kata dalam ujaran kita. Namun seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa proses ini terjadi begitu cepatnya sehingga seseorang yang berujar dengan kecepatan tinggi akan mempengaruhi kualitas ujaran yang diproduksinya sebab semakin singkat waktu yang gunakannya untuk menyelesaikan semua proses ini. Oleh karena itu terkadang terjadi produksi suara yang kurang akurat dan kekeliruan dalam mengucapkan beberapa kata. Selain itu, oleh karena suara yang kita produksi pada dasarnya berasal dari aliran udara yang dihembuskan dari paru-paru yang melewati batang tenggorokan, organ hidung dan mulut kita, maka ada tiga proses yang kita lalui – dalam kaitannya dengan aliran udara ini – sebelum ujaran terwujud dalam bentuk suara, yaitu inisiasi, phonation, oro-nasal process, dan artikulasi. Proses inisiasi yaitu saat dimana udara mulai dikeluarkan (dihembuskan) dari dalam paru-paru. Udara yang dihembuskan ini kemudian dialirkan kedalam pangkal tenggorokan (Larynx). Larynx memiliki dua lembaran yang tersusun horizontal, lembaran inilah yang disebut pita suara. Jarak yang terbentuk diantara dua lembaran ini disebut glottis. Glottis dapat berposisi tertutup, sedikit terbuka, maupun terbuka lebar. Ketika udara melewati pita suara ini kemudian terbentuk glottis yang sedikit terbuka menyebabkan pita suara bergetar sehingga menghasilkan suara voiced. Dan apabila glottis terbuka lebar maka akan mengurangi getaran pada pita suara sehingga mneghasilkan suara voiceless, hal ini juga terjadi disaat kita bernafas normal. Proses ini disebut phonation. Setelah melewati larynx, udara kemudian disalurkan ke dalam rongga mulut atau rongga hidung (sesuai dengan sistem fonetik kata yang ingin kita ucapkan). Bagian yang bertanggung jawab dalam penyaluran udara apakah akan di salurkan ke rongga mulut ataupun rongga hidung disebut velum. Proses ini disebu proses oro-nasal, yang mana melalui proses ini kita dapat membedakan suara yang berasal dari hembusan udara lewat rongga hidung (nasal) (/m/, /n/, //) dengan suara lain yang berasal dari rongga mulut. 

Terakhir yaitu proses artikulasi. Proses ini terjadi dalam rongga mulut kita yang mana melalui proses ini kita dapat menciptakan dan membedakan sebagian besar bunyi yang beragam. Dalam rongga mulut. Organ organ yang berperan disini adalah bibir atas dan bawah, gigi atas dan bawah, lidah (ujung, bladae, depan, dan belakang), dan langit-langit mulut. Beragam suara yang kita produksi dapat kita bedakan dari bagaimana alat-alat tersebut diletakkan dan diperlakukan. Proses ini kemudian menghasilkan suara-suara bermakna sesuai dengan yang kita konsepsikan. 

E. Kekeliruan Terjadi Oleh karena begitu cepatnya kita memproses suatu kalimat untuk diujarkan, terkadang kita melakukan kekeliruan dalam mengucapkan kalimat yang ingin kita sampaikan. Penelitian dalam psikolinguistik modern menemukan bahwa kekeliruan dalam berbahasa ini mencerminkan adanya rincian komponen beragam yang berperan dalam satu proses produksi ujaran. Kekeliruan berbahasa dapat kita gunakan sebagai instrumen untuk memahami bagaimana proses produksi ujaran terjadi, sebab kekeliruan berujar yang muncul hampir tidak pernah terjadi secara acak. Oleh karena kekeliruan berbahasa ini muncul dalam wujud yang sistematis, fenomena ini dapat membantu kita untuk melacak tahapan apa yang kita lewati dalam proses produksi sebuah kalimat untuk diujarkan. Penelitian menemukan setidaknya ada tiga kekeliruan berbahasa yang sering terjadi pada saat kita berujar, yaitu substitusi semantic (semantic substitute), pertukaran bunyi (sound exchange), dan pertukaran kata (word exchange) (Taxler 2012: 43). 

Sering kali, pada saat kita sedang berujar, kita mengganti satu kata tertentu dengan kata lain yang memiliki hubungan makna erat dengan kata yang seharusnya kita ucapkan. Misalnya, kita berencana mengujarkan kata monyet, namun kata yang terucap dalam ujaran kita bukan kata tersebut melainkan kata-kata yang dekat dengan konsep monyet, yaitu kera atau babon, gorilla dan seterusnya. Hal ini sering terjadi terutama ketika sesorang berada pada tekanan ataupun diminta untuk mengucapkan sebbuah kata secepat mungkin setelah satu konsep, misalnya gambar, diberikan kepadanya. model kekeliruan ini disebut substutisi semantik. Fenomena ini mencerminkan adanya proses persiapan konsepsi yang kemudian mempengaruhi tahapan pemilihan kata (lexical selection) dalam mental kita. Substitusi semantic ini menunjukkan bahwa konsep sebuah kata yang dalam memori kita berhubungan dengan sejumlah konsep kata lainnya yang memiliki kedekatan makna dengan kata tersebut. Ketika kita memikirkan sebuah konsep kakta kita akan mengaktifkansatu konsep yang tersimpan dalam memori jangka panjang kita, konsep-konsep lain yang berhubungan dan memiliki kedekatan makna dengan konsep tersebut akan secara tidak langsung juga diaktifkan. Pengaktifan konsep mengharuskan kita untuk mengeliminasi konsep-knonsep kata lain dan fokus kepada konsep kata target, dalam contoh di atas misalnya monyet. Penyeleksian konsep kata ini menjadi kata yang kita inginkan menghasilkan lemma. Lemma inilah yang akan diproses pada tahap selanjutnya hingga terproduksi sebagai satu ujaran. Namun karena kecepatan kita dalam memproses konsep tersebut dalam mental kita, mungkin karena adanya tekanan atau instruksi untuk mengujarkan kata, seringkali kita keliru untuk memilih kata target ini, walaupun sebenarnya kita tahu bahwa kita sedang tidak mengucapkan kata yang benar sesuai dengan konsep yang kita inginkan. 

 Kekeliruan ujaran lain yang sering terjadi ialah pertukaran bunyi (sound exchange). Pada kekeliruan ini kita telah berhasil memilah konsep yang benar dan menyusunnya kedalam susunan lemma. Namun kata yang terucap tidak terdengar seperti urutan bunyi yang seharusnya, contohnya seseorang yang ingin mengatakan tiup, namun yang terdengar dari ujarannya bukan tiup melainkan tuip. Kekeliruan ini memberikan kita bukti bahwa ada tahapan selanjutnya yang kita lewati setelah kita berhasil menyusun lemma. Kesalahan ini terjadi pada tahap setelah lemma dan morphem telah ditentukan namun kita belum merampungkan perencanaan artikulasi (rancangan pergerakan otot-otot articulator). Yang perlu digaris bawahi disini adalah, berdasarkan penelitian, dalam hal susunan kata dalam satu bentuk prase, kekeliruan semacam ini hanya terjadi umumnya pada kata-kata yang terdapat dalam satu kelompok prase yang sama. Menurut model produksi ujaran yang diajukan oleh Dell dalam Taxler (2012), ketika kita telah selesai menyeleksi lemma yang tepat, setiap phonem tunggal yang terkandung di dalamnya akan diaktifkan dan diletakkan ke dalam kerangka. Kerangka ini terwakili dalam setiap suku kata. Kemudian kita akan mengaktifkan fonem yang kita butuhkan dalam tiap suku kata tersebut, yang mana setiap fonem ini akan di susun dengan urutan yang sesuai. Urutan ini yang kemudian menjadi pedoman bagi sistem selanjutnya untuk menentukan bunyi mana yang disebutkan pertama, kedua, dan seterusnya. Oleh karena kerangka suku kata dan urutan phoneme yang dibutuhkan ini diaktifkan hampir bersamaan, mengakibatkan proses selanjutnya kadang menjadi keliru untuk memilih bunyi mana yang ada pada urutan pertama dan selanjutnya, dan menghasilkan kekeliruan ujaran yang mana bunyi dari kata-katanya tertukar. 

 Kekeliruan selanjutnya terjadi pada tingkat susunan kalimat ataupun prase. Seringkali kita mendengarkan seseorang yang menukarkan posisi kata-kata dalam satu kalimat ujarannya. Kekeliruan ini disebut pertukaran kata (word exchange). Kekeliruan ini terwujud ketika dalam satu ujaran, kata yang semestinya berada pada posisi tertentu kemudian diproduksi dalam posisi yang berbeda, yang tentunya tidak sesuai dengan apa yang kita konsepsikan. Misalnya anda ingin mengatakan “Anjing mengejar kucing” namun yang terucap pada ujaran adalah kalimat “Kucing mengejar anjing.” Dalam kasus ini kata anjing dan kucing terlibat dalam pertukaran posisi kata dari posisi yang seharusnya. Sebagian besar kekeliruan ini terjadi dalam kerangka kategori. Kerangka kategori ialah kelas kata untuk setiap kata dalam satu ujaran (kata benda, kerja, sifat, depan dsb.). Kekeliruan ini terjadi dalam wujud pertukaran posisi kata hanya dari satu kelas kata yang sama.

Karena sebagian besar ujaran terwujud dalam bentuk susunan kalimat, maka proses perencanaan ujaran lebih banyak terjadi dalam bentuk proses penyusunan kalimat dibandingkan hanya satu kata tunggal. Oleh karena itu, berdasarkan model frame-and-slot, proses produksi kalimat terjadi dengan membentuk kerangka kalimat yang terdiri dari beberapa slot yang siap diisi dengan kata-kata yang sesuai baik makna, posisi, serta bentuknya secara gramatikal dalam satu kalimat atau klausa. Setiap slot ini diberikan tanda yang menunjukkan kelas kata apa yang seharusnya diletakkan di dalam slot tersebut (kata benda, kerja, sifat, dsb.). Pertukaran posisi kata terjadi ketika lebih dari satu “calon” kata yang mengisi slot dalam kalimat diaktifkan secara hampir bersamaan, yang mana kata-kata ini memiliki kelas kata yang sama, sehingga kata ini mungkin dimasukkan kedalam slot yang bertanda sama dalam kalimat. Oleh karena itu, bisa terjadi kekeliruan dalam memasukkan kata yang diinginkan kedalam slot yang belum terisi (yang berlabel sama). Namun demikian, mengingat setiap slot ini diberikan tanda tertentu (kata kerja, benda, sifat) maka kekeliruan ini tidak pernah nampak pada pertukaran kata dari kelas kata yang berbeda, misalnya kata kerja mengisi slot yang seharusnya untuk kata benda dan sebaliknya. 

BAGIAN III KESIMPULAN
Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terkadang kita pada saat berkomunikasi mengeluarkan ujaran terasa begitu cepat sehingga seolah-olah kita tidak melakukan proses mental yang kompleks sebelum berujar. Nyatanya berujar itu membutuhkan tahapan mental sebelum kita mengeksekusi setiap ide yang dimiliki melalui alat artikulasi yang ada. Rentetan bunyi yang terdengar sepertinya sangat sederhana, namun ada banyak tahapan penting yang harus dilakukan untuk merefresentasikan ide atau konsep yang ada dalam pikiran kita sebelum terwujud dalam bentuk ujaran atau bunyi yang memiliki makna yang bisa dipahami oleh pendengar. Kita perlu membentuk konsep ide yang mau disampaikan terlebih dahulu, kemudian memproses ide tersebut menjadi bentuk-bentuk linguistik dalam mental kita, kemudian akhirnya terwujudlah dalam bentuk ujaran. 

Produksi dari ujaran ini menjadi instrumen bagi kita untuk menganalisis proses apa yang terjadi sebelum memproduksi ujaran atau kalimat. Produksi ujaran atau kalimat ini tidak selamanya sesuai dengan apa yang dalam konsep pikiran kita, dengan demikian muncullah kekeliruan-kekeliruan dalam berbahasa yang nampak pada ujarn yang kita lakukan. Kekeliruan inilah yang menjadi bukti bahwa ada serangkaian proses yang kita lakukan sebelum berujar. Sebab tidak akan mungkin bisa meneliti atau menganalisis proses mental dalam produksi uajaran, melaikan lewat produksi ujaran yang dilakukan.



DAFTAR ACUAN


Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Field, John. 2004. Psycholinguistics: The Key Concepts. London: Routledge.

Harley, Trevor A. 2001. Psychology of Language. New York: Psychology Press.

Taxler, Matthew J. 2012. Introduction to Psycholinguistics Understanding Language Science. West Sussex: Wiley-Blackwell.

Taxler, Matthew J., Gernsbacher, Morton A, eds. 2006. Handbook of Psycholinguistics. London:Elsevier.

 

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum,..
    mhon ma'af sebelumnya numpang tanya untuk materi tentang speech errors dan speech disfluencies apakah ada ?

    BalasHapus